I.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk mencapai sebuah standar kehidupan yang lebih
baik. Pertumbuhan ekonomi serta pembangunan ekonomi yang berkualitas memerlukan
sumber daya manusia yang “capable”
sebagai sumber penggerak utama roda perekonomian. Kini ditengah pesatnya
globalisasi serta kemajuan ekonomi di dunia, permintaan terhadap tenaga kerja
yang lebih produktif dan standar hidup yang lebih baik pun semakin meningkat.
Salah satu aspek penting dalam penciptaan sumber daya manusia yang lebih
berkualitas adalah status kesehatan. Pekerja yang produktif adalah pekerja yang
memiliki status kesehatan yang baik (Strauss dan Thomas, 1996), disamping itu
kesehatan juga merupakan dimensi dan indikator utama dari kemampuan dan
kesejahteraan manusia (Sen, 1985).
Terlepas dari pentingnya sistem kesehatan sebagai hakikat kehidupan
yang layak dan sejahtera, negara-negara di dunia dewasa ini sedang menghadapi
tantangan serta ancaman yang serius terkait efisiensi sistem kesehatannya.
Mereka menghadapi isu-isu terkait apakah belanja kesehatan masyarakatnya
benar-benar memberikan manfaat yang setimpal atau sebaliknya hal tersebut
merupakan pemborosan ekonomi semata. Hal ini menjadi krusial karena, resiko
yang buruk, khususnya dalam bidang kesehatan, akan mengganggu alokasi waktu dan
anggaran keuangan yang seharusnya bisa dialokasikan pada pos-pos yang lebih
produktif, seperti investasi atau belanja ekonomi produktif lainnya yang pada
gilirannya dapat membawa para pelaku ekonomi pada tingkat kehidupan yang lebih
baik.
Dewasa ini para pengambil kebijakan kesehatan nasional telah
mendedikasikan waktu dan perhatiannya kepada evaluasi performa sistem
kesehatannya. Terkait dengan hal tersebut, banyak negara yang terdorong
melakukan reformasi sistem kesehatan dalam rangka meningkatkan performanya.
Pendanaan untuk sistem layanan kesehatan telah disadari banyak ahli dan
akademisi sebagai hambatan utama bagi pemerintah untuk menyediakan sistem layanan
kesehatan yang memadai di negaranya. Babazono dan Hillman (1994) menyatakan
bahwa pada penelitiannya, mereka menemukan bahwa output-output performa
kesehatan tidak berhubungan signifikan secara statistik dengan total
pengeluaran kesehatan perkapita pada studi kasus 21 negara OECD tahun 1988.
Mereka menyimpulkan bahwa keseimbangan alokasi sumberdaya-sumberdaya kesehatan
serta keseimbangan antara pengeluaran kesehatan dan non-kesehatan merupakan
faktor yang lebih penting dalam mendorong peningkatan performa atau output
kesehatan di suatu negara. Hal ini juga senada dengan temuan Mackenbach (1991)
yang menyatakan bahwa tingginya pengeluaran kesehatan tidak serta merta
menurunkan tingkat kematian dalam jumlah yang signifikan. Oleh karena itu, ia
menyimpulkan bahwa biaya yang efektif sangat diperlukan disini.
Penelitian-penelitian tersebut menekankan kepada efisiensi sumberdaya kesehatan
bukan semata-mata besaranya saja. Hal ini mengkonfirmasi kembali kepada kita
pentingnya mengevaluasi efisiensi sistem kesehatan demi tercapainya sistem
layanan kesehatan yang lebih baik lagi, pada khususnya, serta kehidupan ekonomi
yang lebih sejahtera pada umumnya.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya,
dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) yang merupakan
pengembangan lebih lanjut dari teknik pemrograman linear, penulis mencoba
menghitung efisiensi teknis dari sistem kesehatan negara-negara ASEAN + 5
dengan membandingkan output-output layanan kesehatan yang bisa dicapai pada
negara-negara tersebut, pada tiap-tiap level input yang digunakannya serta
tantangan sistem kesehatan yang dihadapinya. Pertanyaan penelitian yang utama
di dalam tulisan ini adalah : seberapa efisienkah sistem kesehatan
negara-negara ASEAN + 5 (secara relatif antara sesama ASEAN + 5 itu sendiri)
baik dilihat dari sisi output maupun sisi input? Serta seberapa besarkah
input-input yang bisa dihemat dan output yang bisa ditingkatkan? Efisiensi
teknis didapatkan ketika output mencapai maksimal untuk tiap penggunaan
sejumlah input tertentu, atau bisa juga diartikan sebagai tercapainya input
yang paling sedikit untuk tiap target output tertentu. Selain itu, penelitian
ini juga bertujuan untuk melihat seberapa besar sumberdaya-sumberdaya kesehatan
yang bisa dihemat di dalam perekonomian ASEAN + 5.
II. LANDASAN
TEORI
2.1
Konsep
Efisiensi
Dua
abad yang lalu, Adam Smith dalam tulisannya yang terkenal The Wealth of Nation, menyatakan “not only that individuals were lead in the pursuit of their interest
by an invisible hand to persue the nation’s interest but also that this pursuit
of self interest was a far more reliable way to ensure that the public interest
would be served than any alternative –surely better than relying on some
goverment leader, as well-intentioned that leader might be” (Stiglitz,
Joshep E, 1991). Argumen Adam Smith ini
menjadi dasar para ekonom untuk memahami dan membangun theory mengenai
organisasi ekonomi, sistem pasar persaingan sempurna yang menyediakan cara yang
efisien untuk mengatur aktifitas organisasi ekonomi dan kebijakan ekonomi untuk
memastikan terjadinya sebuah efisiensi yang tergantung dari sistem pasar dan
kepentingan pribadi dari setiap pelaku ekonomi. Pencapaian kepuasan individual
masyarakat menjadi sebuah mekanisme yang otomatis secara tidak langsung akan
mengalokasikan sumberdaya yang terbatas secara efisien kedalam mekanisme pasar.
Sistem
pasar persaingan sempurna menjadi basis awal berkembangnya teori efisiensi,
dimana pasar melalui tangan tidak terlihat akan selalu mengalokasikan
sumberdaya secara efisien kepada para pelaku ekonomi didalam pasar persaingan
sempurna. Namun begitu, saat konsep tersebut menjadi usang, karena banyak
sekali ditemukannya kegagalan pasar. Dalam teori ekonomi yang lebih maju,
ditemukan sebuah konsep keseimbangan pasar yang di kenal dengan The Fundamental Theorem of Welfare Economics,
dimana teori ini mengemukakan hubungan antara konsep keseimbangan pasar dengan
konsep pareto efisiensi. Teori ini terdiri dari first theorem dan second
theorem. The first theorem menyatakan
bahwa dalam keadaan tertentu competitive ekonomi adalah selalu pareto efisien.
Dimana dalam keadaan pareto efisien individu yang melakukan pertukaran akan
mencapai kepuasan maksimal tanpa membuat individu lain menjadi lebih buruk. Hal
ini mengandung pengertian bahwa ternyata terdapat perbedaan alokasi sumberdaya
dalam perekonomian diantara setiap individu yang tergantung dari initial
endowmen masing-masing individu. Implikasi lainnya adalah dalam the first theorem ini adalah timbulnya
sebuah kegagalan pasar yaitu eksternalitas, monopoli alamiah, dan barang-barang
publik.
The second theorem menyatakan bahwa “every parreto effisien allocation can be
attained trought the price system. All the goverment to do is engage in some
initial lumpsum transfer” (Stiglitz, Joshep E, 1991). the second theorem menyatakan mengandung pengertian bahwa harga
merupakan mekanisme pengalokasian sumber daya kedalam pasar. Namun begitu
terdapat perbedaan alokasi sumber daya sehingga menyebabkan adanay perbedaan
pendapatan, perbedaan informasi dan pasar yang tidak sempurna. Adanya kegagalan pasar
tercermin dari perbedaan harga yang timbul dari setiap barang dan jasa yang di
produksi dan dikonsumsi oleh setiap invdividu. Selain itu kegagalan pasar juga
menyebabkan adanya perbedaan kekeyaan, perbedaan informasi dari setiap pelaku
pasar dan timbulnya monopoli. Untuk itu peran pemerintah adalah mengurangi
dampak kegagalan pasar tersebut dengan menarik pajak untuk dan
mendistribusikannya kepada publik, sehingga timbullah barang publik.
Para ekonom arus utama yang penting dalam mengalokasikan sumber daya
yang ada dalam perekonomian. tidak berasumsi apriori
bahwa pasar lebih disukai daripada bentuk organisasi sosial lainnya. Bahkan,
banyak analisa telah dilakukan untuk membahas beragam kasus yang disebut "kegagalan
pasar", yang mengarah pada alokasi sumber daya yang tidak optimal. Sehingga banyak ekonom akan berusaha untuk mencari kebijakan yang akan menghindari
kesia-siaan langsung yaitu dengan
cara melibatkan pemerintah sebagai regulator dalam mengalokasikan sumberdaya
dalam perekonomian, pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengikat para pelaku pasar atas dasar
suatu norma untuk mencapai kesejahteraan optimal.
Ditinjau dari teori ekonomi ada dua macam pengertian efisiensi, yaitu
efisiensi teknis dan efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi mempunyai sudut
pandang makroekonomi, sementara efisiensi teknis mempunyai sudut pandang
mikroekonomi. Pengukuran efisiensi teknis cenderung terbatas pada hubungan
teknis dan operasional dalam proses konversi input menjadi output.
Sedangkan dalam efisiensi ekonomi, harga tidak dapat dianggap sudah ditentukan
(given), karena harga dapat
dipengaruhi oleh kebijakan makro (Sarjana, 1999).
Gambar 2.2 Garis Frontier Produksi
Menurut Farrell (1957)
efisiensi dari perusahaan terdiri dari dua komponen, yaitu efisiensi teknis dan
efisiensi alokatif. Efisiensi teknis mencerminkan kemampuan dari perusahaan
dalam menghasilkan output dengan
sejumlah input yang tersedia.
Sedangkan efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
mengoptimalkan penggunaan inputnya,
dengan struktur harga dan teknologi produksinya. Kedua ukuran ini yang kemudian
dikombinasikan menjadi efisiensi ekonomi (economic
efficiency). Suatu perusahaan dapat dikatakan efisien secara ekonomi jika
perusahaan tersebut dapat meminimalkan biaya produksi untuk menghasilkan output
tertentu dengan suatu tingkat teknologi yang umumnya digunakan serta harga
pasar yang berlaku.
Menurut Kumbhaker dan Lovell (2000), efisiensi teknis hanya merupakan satu
komponen dari efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Namun, dalam rangka
mencapai efisiensi ekonominya suatu perusahaan harus efisien secara teknis.
Dalam rangka mencapai tingkat keuntungan yang maksimal, sebuah perusahaan harus
memproduksi output yang maksimal
dengan jumlah input tertentu
(efisiensi teknis) dan memproduksi output dengan kombinasi yang tepat
dengan tingkat harga tertentu (efisiensi alokatif).
2.2
Konsep
Penghitungan Efisiensi
Menurut
Bauer et. al. (1998), beberapa tahun
terakhir ini perhitungan kinerja lembaga keuangan lebih difokuskan kepada frontier efficiency atau x-efficiency,
yang mengukur penyimpangan dari lembaga keuangan berdasarkan ”best practice” atau berlaku umum pada frontier
efisiennya. Jadi, efisiensi frontier
dari suatu lembaga keuangan diukur melalui bagaimana kinerja lembaga keuangan
tersebut relatif terhadap perkiraan kinerja lembaga keuangan ”terbaik” dari
industri tersebut, dengan catatan semua lembaga keuangan tersebut menghadapi
kondisi pasar yang sama.
Frontier efficiency cukup superior bagi sebagain besar standar rasio
keuangan dari laporan keuangan—seperti return
on aset atau cost/revenue ratio –
yang umumnya digunakan oleh regulator, manager lembaga keuangan, atau konsultan
industri dalam mengevaluasi kinerja keuangan. Frontier efficiency superior karena ukuran dari frontier efficiency menggunakan teknik
pemrograman atau statistik yang menghilangkan pengaruh dari perbedaan di dalam
harga input dan faktor pasar eksogen
lainnya yang mempengaruhi kinerja standar (rasio) dalam rangka untuk
mendapatkan estimasi yang terbaik berdasarkan kinerja dari para manager.
Frontier efficiency digunakan secara lebih luas di dalam analisis
regulasi untuk mengukur pengaruh dari merger dan akuisisi, regulasi modal,
deregulasi suku bunga deposito, dan pergeseran restriksi geografis pada cabang
dan holding dari perusahaan akuisisi.
Keuntungan yang paling utama dari indikator ini dibandingkan dengan indikator
lainnya adalah bahwa indikator ini mengukur secara obyektif kuantitatif dengan
menghilangkan pengaruh dari harga pasar dan faktor eksogen lainnya yang
mempengaruhi kinerja yang akan diobservasi.
Dua puluh
tahun terakhir, cukup banyak pendekatan frontier
yang ditemukan dalam mengevalusi kinerja keuangan yang berbeda, baik dari
asumsi, bentuk frontier, keberadaan random error, maupun (jika random error
dibenarkan) dari asumsi distribusi jika terjadi ketidakefisienan. Adapun
pendekatan tersebut dapat dibedakan menjadi pendekatan parametrik dan
pendekatan nonparametrik.
2.3.1 Pendekatan Parametrik dan Nonparametrik
Pendekatan parametrik melakukan pengukuran dengan menggunakan ekonometrik
yang stokastik dan berusaha untuk menghilangkan gangguan dari pengaruh
ketidakefisienan. Ada tiga pendekatan parametrik ekonometrik, yaitu: 1) Stochastic Frontier
Approach (SFA); 2) Thick Frontier
Approach (TFA); dan 3) Distribution-free Approach (DFA).
Sementara itu, pendekatan
nonparametrik dengan program linier (Nonparametric
Linear Programming Approach) melakukan pengukuran nonparametrik dengan
menggunakan pendekatan yang tidak stokastik dan cenderung ”mengkombinasikan”
gangguan dan ketidakefisienan. Hal ini dibangun berdasarkan penemuan dan observasi dari populasi dan
mengevaluasi efisiensi relatif terhadap unit-unit yang diobservasi. Pendekatan
ini dikenal sebagai Data Envelopment
Analysis (DEA). DEA adalah suatu teknik pemrograman
matematika yang mengukur tingkat efisiensi dari unit pengambil keputusan (UPK)
atau decision-making unit relatif
terhadap UPK yang sejenis ketika semua unit-unit ini berada pada atau dibawah
”kurva” efisien frontiernya.
Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes pada
tahun 1978. Semenjak itu penerapan pendekatan ini semakin berkembang. (Cevdet et.al., 2000). Pemrograman
linier sangat tergantung kepada populasi yang dijadikan sampel sehingga
cenderung jauh dari kesalahan spesifikasi (Lovell, 1993). Selanjutnya, kinerja
dari suatu UPK sangat relatif terhadap UPK lainnya, khususnya yang menyebabkan
ketidakefisienan. Pendekatan ini juga dapat melihat bagaimana suatu UPK itu
melakukan penyempurnaan kinerja keuangannya sendiri sehingga menjadi efisien.
Metode Pengukuran
Efisiensi
|
Non-parametrik
|
Parametrik
|
Data Envelopment Analysis
|
Free Disposal Hull
|
Stochastic Frontier Approach
|
Thick Frontier Approach
|
Distribution-free
Approach
|
Keuntungan dari penggunaan DEA adalah bahwa pendekatan ini tidak memerlukan
spesifikasi yang eksplisit dari bentuk fungsi dan hanya memerlukan sedikit
struktur untuk membentuk frontier
efisiensinya. Kelemahan yang
mungkin muncul adalah ”self identifier”
dan ”near self identifier”.
2.3.2 Teknik Pengukuran Efisiensi
Pengukuran
efisiensi dengan menggunakan pendekatan frontier
sudah digunakan selama 40 tahun lebih (Coelli, 1996). Metode utama yang menggunakan linier programming dan metode ekonomterika adalah: 1) Data Envelopment Analysis; dan 2)
Stokastic Frontier.
Pengukuran efisiensi modern ini pertama kali dirintis oleh Farrell (1957),
bekerja sama dengan Debreu dan Koopmans, dengan mendefinisikan suatu ukuran
yang sederhana untuk mengukur efisiensi suatu perusahaan yang dapat
memperhitungkan input yang banyak.
Efisiensi yang dimaksudkan oleh Farrell terdiri dari efisiensi teknis (technical efficiency) yang merefleksikan
kemampuan dari suatu perusahaan untuk memaksimalkan output dengan input
tertentu, dan efisiensi alokatif (allocative
efficiency) yang merefleksikan kemampuan dari suatu perusahaan yang
memanfaatkan input secara optimal
dengan tingkat harga yang telah ditetapkan. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian
dikombinasikan untuk menghasilkan efisiensi ekonomis (total).
a.
Pengukuran Berorientasi Input (Input-Oriented Measures)
Pengukuran berorientasi input
menunjukkan sejumlah input dapat
dikurangi secara proporsional tanpa mengubah jumlah output yang dihasilkan. Farrell memberikan ilustrasi dengan
melibatkan perusahaan-perusahaan yang menggunakan dua input (X1 dan X2) untuk memproduksi satu output (y) dengan asumsi constant
return to scale. Sebuah
perusahaan menggunakan dua input
yaitu X1 dan X2 untuk memproduksi output sebesar y (asumsi constant return to scale). Isoquant SS1 menggambarkan
kombinasi input untuk menghasilkan
tingkat output yang sama (efisien
secara teknis). Isocost CC1
menggambarkan kombinasi input yang
dapat dibeli oleh produsen dengan tingkat biaya yang sama (efisien secara
alokatif). Garis OM menunjukkan kombinasi input
yang digunakan oleh suatu perusahaan. Titik Q’ menunjukkan efisien secara teknikal dan
alokatif. Titik M menunjukkan ketidakefisienan karena tidak berada pada kurva isocost dan isoquant. Titik N efisien secara alokatif sedangkan titik Q efisien
secara teknis. Efisien secara teknis diperoleh dari rasioTE = OQ/OM. Efisien
secara alokatif diperoleh dari rasio AE = ON/OQ – selama NQ merepresentasikan
bahwa pengurangan biaya produksi akan terjadi jika produksi secara teknis
maupun alokatif efisien pada titik Q’. Sehingga total efisiensi sama dengan
ON/OM – NM adalah pengurangan biaya produksi.
Fungsi produksi yang menunjukkan fully efficient firm ’perusahaan yang
efisien penuh’ (SS1) secara
praktek tidak diketahui. Oleh sebab itu, perlu diestimasi melalui sampel
observasi dari perusahaan-perusahaan dalam satu industri. Menurut Farrell untuk
mengestimasi fungsi produksi tersebut
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) non-parametric
piecewise-linear convex isoquant, dan b)
fungsi parametrik, seperti bentuk Cobb-Douglas.
Sedangkan Coelli menggunakan pendekatan nonparametrik DEA untuk mengestimasi
fungsi produksi yang efisien tersebut.
Catatan: AE: Efisiensi Alokatif; TE:
Efisiensi Teknis
Sumber: Coelli, et.al., 1996.
Gambar
2.3 Efisiensi Teknis dan Alokatif dengan Orientasi Input
Pada Gambar 2.3
tampak bahwa perusahaan menggunakan sejumlah input tertentu yaitu titik M, untuk memproduksi satu unit output. Perusahaan yang tidak efisien
secara teknis akan berada di sepanjang titik QM, ketika seluruh input dapat dikurangi secara proposional
tanpa mengurangi jumlah outputnya.
Umumnya ini direpresentasikan dengan persentasi yang merupakan rasio antara
QM/OM, ketika seluruh input dapat
dikurangi. Efisiensi
teknis dari perusahaan dihitung berdasarkan rasio antara OQ dengan OM.
TEI = OQ/OM, atau sama dengan 1-
QM/OM
0 < TEI
< 1 (Indikator dari tingkat
efisiensi dari perusahaan)
I menunjukkan input oriented measure.
Jika TEI = 1 menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut merupakan perusahaan yang efisien, sebagai contoh titik Q, ketika TEI = 1 karena titik Q berada pada garis isoquant.
Jika rasio input terhadap harga direpresentasikan dengan garis CC1, maka dapat
digunakan untuk menghitung efisiensi alokatif. Efisiensi alokatif dari perusahaan
yang beroperasi pada tingkat harga p (tertentu) didefinisikan sebagai rasio
dari ON/OQ.
AEI = ON/OQ
Sepanjang garis NQ
menunjukkan pengurangan dari biaya produksi yang terjadi jika efisiensi
alokatif maupun teknis terjadi pada titik Q’ sehingga dapat terbentuk efisiensi
ekonomi yang merupakan rasio dari:
EEI = ON/OM,
ketika NM dapat
direpresentasikan sebagai pengurangan biaya produksi. Sebagai catatan,
efisiensi teknis dan alokatif membentuk efisiensi ekonomi.
TEI X AEI = OQ/OM X
ON/OQ = ON/OM
Semua nilai
efisiensi berada antara nol dan satu.
b.
Pengukuran Berorientasi Output (Output-Oriented
Measures)
Orientasi output mengukur bilamana sejumlah output dapat ditingkatkan secara
proporsional tanpa mengubah jumlah input
yg digunakan.
C
|
0
|
B
|
D
|
A
|
f(x)
|
D
|
P
|
X
|
0
|
P
|
B
|
y
|
A
|
D
|
C
|
X
|
f(x)
|
Sumber: Coelli, et.al., 1996.
Gambar
2.4 Efisiensi Teknis Berorientasi Input
dan Output dan Return to Scale
Sumber: Coelli, et.al., 1996.
Gambar 2.5 Efisiensi Teknis dan
Alokatif dengan Orientasi Output
Titik A dan B1
menggambarkan skala efisiensi yang dihasilkan oleh perusahaan A dan B1.
Kurva ZZ1 adalah kurva kemungkinan produksi (production possibility curve) yang menunjukkan efisien secara
teknis. Kurva DD1 menggambarkan kurva isorevenue (efisien secara alokatif). Titik B dan B1
menggambarkan efisien secara teknikal karena terletak pada isoquant. CB1 efisien secara alokatif karena terletak
pada isorevenue DD1. B1
efisien secara teknis dan alokatif. Titik OE menunjukkan kombinasi output yang dihasilkan oleh perusahaan.
Titik A merupakan titik inefisieni
secara teknis maupun alokatif karena tidak terletak pada ZZ1 dan DD1.
AB merupakan inefisieni secara teknis yang berarti bahwa output bisa ditingkatkan menjadi B tanpa adanya tambahan input. Penghitungan efisiensi teknis
dengan pendekatan output adalah rasio
dari OA/OB. Isorevenue adalah garis
yang menggambarkan kombinasi output
yang dihasilkan oleh perusahaan dengan tingkat pendapatan yang sama. Efisiensi
alokatif diperoleh melalui rasio OB/OC. Jika digabungkan, maka menjadi
efisiensi ekonomi OA/OB X OB/OC = OA/OC.
2.3
Penelitian
Sebelumnya.
Penelitian mengenai
efisiensi biaya dalam mendapatkan pelayanan kesehatan telah banyak dilakukan,
terutama sekali untuk melihat kebijakan kesehatan di negara-negara berkembang.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional
yang konsern terhadap peningkatan kesehatan penduduk dunia seperti WHO dan
lainnya juga turut memberikan penambahan pemahaman terhadap penelitian yang
berkaitan dengan efisiensi pelayanan kesehatan.
Donna
Retzlaff-Roberts, dkk, menulis mengenai efisiensi teknikal dalam penggunaan
pelayanan kesehatan dengan membandingkan negara-negara OECD. Tulisan tersebut
menganalisa bagaimana negara-negara OECD meng-Utilisasi input kesehatan dengan
cara yang paling efisien dan menghasilkan output maksimal dalam penggunaan
pelayanan kesehatan. Metode dalam menganalisa efisiensi ini menggunakan Data
Envelopment Analysis. Input yang digunakan terdiri dari dua kategori yaitu
input kesehatan dan input sosial. Input kesehatan terdiri dari jumlah tempat
tidur di dirumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan perseribu populasi, MRI
atau Magnetic Resonance Imager yang
menggambarkan mengenai perkembangan teknologi kesehatan perseribu populasi.
Selain itu juga ada jumlah dokter dan pengeluaran di bidang kesehatan.
Sedangkan input sosial terdiri dari tingkat pendidikan, gini indeks yang
menggambarkan distribusi pendapatan penduduk dan persentase pengguna tembakau.
Sedangkan output terdiri dari tingkat kematian bayi dan usia harapan hidup
masyarakat.
Penelitian ini
menemukan bahwa beberapa negara maju memiliki skor efisiensi dalam penggunaan
input dan menghasilkan output kesehatan yang optimal seperti Jepang dan Swedia,
dan ada beberapa negara yang efisien dalam menggunakan salah satu jenis input
saja. Seperti Turki dan Mexico, negara dengan pengeluaran terhadap sektor
kesehatan yang moderat ternyata terlihat efisien dalam menggunakan input
kesehatannya namun masih membutuhkan peningkatan dalam menghasilkan output
kesehatannya.
Nick Kontodimoulos, Panagios Nanos
dan Dimitris Niakas (2005) melakukan penelitian efisiensi keseimbangan
pelayanan kesehatan dan akses ekuitas pada wilayah terpencil di Yunani. Dengan
menggunakan DEA, mereka mencari tingkat efisiensi dari rumah sakit skala kecil yang
dikenal dengan rumah sakit pusat pelayanan atau hospital-health centers (HHCs).
Metode DEA sengaja digunakan karena dapat membantu mengidentifikasi dalam
sistem perawatan kesehatan dengan tolak ukur kinerja pengaturan dan ini dapat
membantu administrator dan pembuat kebijakan dalam mengukur sasaran perbaikan.
Keberadaan HHCs di Yunani bertujuan untuk menyediakan pelayanan kesehatan
tingkat primer dan sekunder serta diharapkan juga dapat menangani permasalahan
tentang obat-obatan pencegah penyakit, higenitas, serta isu-isu kesehatan
masyarakat secara umum.
HHCs ditempatkan pemerintah Yunani
area-area terpencil dan melayani populasi dalam jumlah yang terbatas.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pandangan mengenai tingkat efisiensi
produktivitas terkait pelayanan
kesehatannya. Sampel yang digunakan sebanyak 17 dari 18 unit HHCs yang ada di
negara tersebut. Sejumlah variabel yang digunakan sebagai input yaitu jumlah
dokter, suster dan tempat tidur di HHCs tersebut. Sementara output yang dipakai
ialah jumlah pasien rawat inap dan pasien rawat jalan serta pelayanan
pencegahanan penyakit. Model DEA yang digunakan ialah orientasi input, yang
memperbolehkan constant return to scale dan
kemudian unit-unit tersebut dirangking berdasarkan pendekatan benchmark
tertentu.
Hasil penelitian berdasarkan
menggunakan variabel pelayanan pencegahan penyakit dan tidak menggunakan
variabel tersebut masing-masing secara berurutan menunjukkan efisiensi teknis
yaitu 26,77 persen dan 25,13 persen. Lokasi keberadaan HHCs mempengaruhi
pelayanan dari HHCs tersebut, misalnya HHCs yang berada di pulau-pulau kecil
dan pedesaan menunjukkan hasil yang lebih tidak efisien Sehingga peningkatan efisiensi harus dicoba tanpa mengesampingkan
aspek akses
ekuitas, kriteria sosial yang dirasa yang sama
pentingnya. Terkait hasil penelitian tersebut, pembuat kebijakan tampaknya memiliki dua pilihan untuk perbaikan yang pertama adalah mengarahkan upaya untuk
memperluas ketentuan pelayanan medis
preventif, yang sepertinya
menjadi kontributor penting untuk efisiensi secara keseluruhan, dan yang kedua ialah potensi adopsi telemedicine, yang akan menguntungkan dalam hal akses, pemerataan dan kualitas
pelayanan kesehatan, kepada warga pedesaan dan pedalaman.
menjadi kontributor penting untuk efisiensi secara keseluruhan, dan yang kedua ialah potensi adopsi telemedicine, yang akan menguntungkan dalam hal akses, pemerataan dan kualitas
pelayanan kesehatan, kepada warga pedesaan dan pedalaman.
Alfonso dan St Aubyn (2006) mengestimasi model
semi-parametrik produksi kesehatan dengan menggunakan DEA
berbasis dua tahap pendekatan untuk negara-negara OECD dalam
durasi tahun 2000-2003. Variabel
input mencakup indikator-indikator teknologi medis dan pekerja kesehatan.
Output diukur dengan indikator berupa angka harapan hidup dan kematian bayi. Para peneliti menggunakan
analisis komponen utama (PCA) dari output harapan hidup, tingkat kelangsungan
hidup bayi dan potensi jumlah tahun hidup yang tidak hilang. Hal ini mengurangi dimensi output multivariat
untuk satu ukuran tunggal yang memiliki keuntungan ketika ukuran sampel yang
relatif kecil. Namun, dengan menjalankan PCA maka dapat mengukur output buatan yang mungkin tidak
mewakili output dari setiap sistem pelayanan kesehatan cukup baik.
Dalam model dasar, di antara 21 negara OECD,
Kanada, Finlandia, Jepang, Korea, Spanyol, Swedia dan Amerika Serikat
menunjukkan efisiensi tertinggi. Inefisiensi di
sektor kesehatan telah menemukan faktor terkait, setidaknya dalam jangka pendek sampai menengah, di luar kendali
dari sistem kesehatan: PDB per kapita, tingkat pendidikan, kebiasaan merokok,
dan obesitas. Dalam langkah berikutnya, peneliti memperhitungkan
perbedaan dalam konsumsi pendapatan, obesitas dan tembakau nasional dan
memperbaiki nilai efisiensi untuk faktor-faktor ini. Membandingkan peringkat
dan nilai efisiensi dari model dikoreksi dengan nilai dan peringkat yang
dihasilkan dari koreksi, terjadi perubahan signifikan. Beberapa negara yang
sebelumnya peringkat buruk sekarang lebih dekat ke perbatasan kemungkinan
produksi - misalnya Denmark, Republik Ceko, Hungaria, Republik Slovakia, dan
Inggris. Di sisi lain, negara-negara seperti Kanada, Jepang, Swedia dan Amerika
Serikat menerima skor efisiensi yang sangat rendah setelah terkoreksi.
Spinks dan Hollingsworth (2005) menganalisa lebih jauh dalam
mengintegrasikan faktor-faktor sosial ekonomi ke dalam model. Mereka
menggunakan aspek-aspek untuk pendidikan (harapan tahun sekolah), pekerjaan (tingkat pengangguran), dan
pendapatan (GDP per kapita) sebagai input, tambahan untuk total pengeluaran kesehatan.
Harapan hidup saat lahir adalah sebagai output saja. Mereka menghitung efisiensi teknis dari negara-negara
OECD berdasarkan data yang diberikan oleh masing-masing
negara tersebut dan juga WHO. Dalam
pengaturan WHO, mereka menggunakan ukuran output yang berbeda. Turki, Meksiko,
Korea, Yunani, Spanyol dan Jepang mencapai efisiensi penuh dalam kedua model (data OECD dan WHO). Italia
dan Prancis berada di perbatasan hanya dalam pengaturan WHO. Islandia dan Swiss yang
diidentifikasi efisien hanya dalam pengaturan
OECD. Defisit efisiensi yang paling luar biasa terdapat pada Denmark, AS, Belgia dan Germany. Spinks dan
Hollingsworth juga menghitung perubahan dalam efisiensi antara 1995 dan 2000 (data OECD) dan 1993 dan
1997 ( data WHO)
menggunakan Malmquist terpilah -Index. Nilai rata-rata dari komponen mengejar
0,961 untuk dataset OECD menunjukkan bahwa secara keseluruhan, negara-negara
anggota telah pindah sedikit menjauh dari perbatasan, mewakili penurunan dalam
efisiensi teknis. Demikian pula, nilai perubahan berarti teknologi (pergeseran
perbatasan) dari 0,995 akan menunjukkan bahwa efisiensi seluruh teknologi telah
sedikit menurun. Secara keseluruhan, efisiensi rata-rata seluruh sampel telah
menurun antara tahun 1995 dan 2000 (berarti Malmquist-Index = 0,956).
Menariknya, hasil menggunakan dataset WHO bergerak sebaliknya untuk hasil untuk
Dataset OECD. Secara keseluruhan, efisiensi teknis telah diperbaiki (berarti
mengejar komponen = 1,041), sedangkan perbatasan efisien telah ditarik
(rata-rata pergeseran perbatasan = 0,974). Produktivitas faktor total tampaknya
telah sedikit meningkat antara tahun 1993 dan 1997. (MI = 1,014).
Kedua pendekatan dibahas di atas (Alfonso dan St
Aubyn 2006; Spinks dan Hollingsworth 2005) menggabungkan langkah-langkah sosial
ekonomi atau gaya hidup secara lebih eksplisit ke dalam analisis efisien.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, beberapa langkah dari status sosial ekonomi, seperti
pendapatan rata-rata, tingkat perkembangan ekonomi secara keseluruhan,
pendidikan dan faktor lingkungan telah jelas terbukti berhubungan dengan status
kesehatan (Macintyre 1993, Kaplan et al. 1996, Laporte 2002). Dengan kata lain,
negara-negara yang berbeda mungkin menghadapi batas-batas yang berbeda
efisiensi individu. Itulah mengapa ide untuk memperbaiki nilai efisiensi untuk
beberapa faktor penting yang tidak dapat dipengaruhi oleh sistem perawatan
kesehatan, setidaknya tidak dalam jangka pendek.
III. Metodologi
Metodologi
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode nonparametric Data Envelopment Analaysis (DEA). DEA merupakan suatu teknik programa linier
yang digunakan untuk mengevaluasi bagaimana suatu proses pengambilan keputusan
dalam suatu unit, dalam hal ini bank syariah, beroperasi secara relatif dengan
bank syariah lain dalam sampel. Selanjutnya proses tersebut akan membentuk
suatu garis frontier yang terbentuk
dari bank-bank yang efisien yang kemudian dibandingkan dengan bank-bank yang
tidak efisien untuk menghasilkan nilai efisiensinya masing-masing. Nilai
efisiensi tersebut akan terletak di antara nol dan satu. Bank yang efisien akan
memiliki nilai satu. Namun, dalam pengertian bank yang paling efisien itu tidak
berarti memberikan output yang paling
maksimum di antara sampel bank syariah yang ada, tetapi memberikan gambaran best practices dari output di antara bank-bank syariah lainnya.
3.1.1
Data Envelopment Analysis
Data envelopment analysis pertama kali
diperkenalkan oleh Charnes, Cooper dan
Rhodes pada tahun 1978 dan 1979. Semenjak itu pendekatan dengan menggunakan DEA
ini banyak digunakan di dalam penelitian-penelitian operasional dan ilmu
manajemen. Pendekatan DEA lebih menekankan pendekatan yang berorientasi kepada
tugas dan lebih memfokuskan kepada tugas yang penting, yaitu mengevaluasi
kinerja dari unit pembuat keputusan/UPK (decision
making units). Analisis yang dilakukan berdasarkan kepada evaluasi terhadap
efisiensi relatif dari UPK yang sebanding. Selanjutnya UPK-UPK yang efisien
tersebut akan membentuk garis frontier.
Jika UPK berada pada garis frontier, maka UPK tersebut dapat
dikatakan efisien ralatif dibandingkan dengan UPK yang lain dalam peer group-nya. Selain menghasilkan
nilai efisiensi masing-masing UPK, DEA juga menunjukkan unit-unit yang menjadi
referensi bagi unit-unit yang tidak efisien.
Dimana, DMU = UPK; n = UPK yang akan dievaluasi; m = input-input yang berbeda; p = output-output yang berbeda; xij =
jumlah input I yang dikonsumsi oleh
UPKj; ykj = jumlah output
k yang diproduksi oleh UPKj.
Semenjak tahun 1980-an, pendekatan ini banyak digunakan
untuk mengukur tingkat efisiensi dari industri perbankan secara nasional.
Pendekatan DEA ini merupakan pendekatan nonparametric. Oleh karena itu,
pendekatan ini tidak memerlukan asumsi awal dari fungsi produksi. Namun,
kelemahan DEA adalah bahwa pendekatan ini sangat sensitif terhadap
observasi-observasi ekstrem. Asumsi yang digunakan adalah tidak ada random error, deviasi dari frontier diindikasikan sebagai
inefisiensi. Ada dua model yang sering digunakan dalam pendekatan ini, yaitu model CCR (1978) dan
model BCC (1984).
3.1.2
Constant Return to Scale (CRS)
Model constant return to scale
dikembangkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (Model CCR) pada tahun
1978. Model ini mengasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output adalah sama (constant
return to scale). Artinya, jika ada tambahan input sebesar x kali, maka output
akan meningkat sebesar x kali juga. Asumsi lain yang digunakan dalam model ini
adalah bahwa setiap perusahaan atau unit pembuat keputusan (UPK) beroperasi
pada skala yang optimal. Rumus dari constant
return to scale dapat dituliskan sebagai berikut:
dimana maksimisasi di atas merupakan efisiensi teknis
(CCR), xij adalah
banyaknya input tipe ke-i dari UPK
ke-j dan ykj adalah jumlah output
tipe ke-k dari UPK ke-j. Nilai efisinesi
selalu kurang atau sama dengan 1. UPK yang nilai efisiensinya kurang dari 1
berarti inefisiensi sedangkan UPK
yang nilai efisiensinya sama dengan 1 berarti UPK tersebut efisien.
Gambar 4.1 Frontier Efisien Model CCR
3.1.3
Variable Return to Scale (VRS)
Model ini dikembangkan oleh Banker,
Charnes, dan Cooper (model BCC) pada tahun 1984 dan merupakan pengembangan dari
model CCR. Model ini
beranggapan bahwa perusahaan tidak atau belum beroperasi pada skala yang
optimal. Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio antara penambahan input dan output tidak sama (variable
return to scale). Artinya, penambahan input
sebesar x kali tidak akan menyebabkan output
meningkat sebesar x kali, bisa lebih kecil atau lebih besar dari x kali. Rumus variable return to scale (VRS) dapat
dituliskan dengan program matematika seperti berikut ini:
Maksimisasi di atas merupakan nilai efisiensi teknis
(BCC), xij adalah banyaknya input
tip eke-I dari UPK ke-j, dan yrj adalah jumlah output tipe ke-r dari UPK ke-j. Nilai dari efisiensi tersebut
selalu kurang atau sama dengan 1. UPK yang nilai efisiensinya kurang dari 1
berarti inefisiensi sedangkan UPK
yang nilainya sama dengan 1 berarti UPK tersebut efisien.
Gambar
4.2 Efisiensi Frontier Model BCC
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah
VRS (variable return to scale). Alasan
pemilihan skala efisiensi model VRS ini adalah studi ini ingin mengetahui
tingkat efisiensi sebenarnya (tanpa dibatasi oleh kendala apa pun).
3.2 Efisiensi Skala
Pada umumnya suatu bisnis atau unit
pengambil keputusan (UPK), seperti bank, mempunyai karakteristik yang mirip
satu sama lain. Namun, biasanya tiap bank bervariasi dalam ukuran dan tingkat
produksinya. Hal ini mengisyaratkan bahwa ukuran bank memiliki peran penting
yang menentukan efisiensi atau inefisiensi relatifnya. Model CCR mencerminkan
(perkalian) efisiensi teknis dan efisiensi skala, sedangkan model BCC
mencerminkan efisiensi teknis saja, sehingga efisiensi skala relatif adalah
rasio dari efisiensi model CCR dan model BCC.
Sk = qk,CCR/qk,BCC
Jika nilai S = 1 berarti bahwa UPK tersebut beroperasi
pada ukuran efisiensi skala terbaik. Jika nilai S kurang dari satu berarti
masih ada inefisiensi skala pada UPK tersebut. Sehingga, nilai (1-S) menunjukkan
tingkat inefisiensi skala dari UPK tersebut. Jadi, UPK yang efisien dengan
model CCR berarti juga efisien skalanya. Sedangkan, UPK yang efisien dengan
model BCC tapi tidak efisien dengan model CCR berarti memiliki inefisiensi
skala. Hal ini karena UPK tersebut efisien secara teknis, sehingga infisiensi
yang ada adalah berasal dari skala.
3.3 Jenis
dan Sumber Data
Penelitian ini menganalisis efisiensi sistem kesehatan
dengan menggunakan teknik Data Envelopment Analysis yang merupakan aplikasi
dari sistem pemrograman linear yang bertujuan untuk mendapatkan skor atau nilai
efisiensi dari setiap Decision Unit making (DMU) atau Unit Pengambilan
Keputusan (UPK). Di dalam penelitian ini digunakan 2 jenis input yang berbeda
yaitu discretionary input dan non-discretionary input. Discretionary input
adalah sumberdaya tertentu yang bisa diatur langsung besarannya dalam jangka
pendek dalam kaitannya untuk mencapai output-output kesehatan tertentu.
Sedangkan non-discretionary input adalah input yang tidak berada dalam jangkauan
para pengambil kebijakan kesehatan tetapi lebih kepada kondisi sosial ekonomi
yang bisa mempengaruhi output-output kesehatan di suatu negara.
Discretionary input yang dipakai adalah persentase total
pengeluaran kesehatan (publik dan privat) terhadap GDP di negara tersebut,
selanjutnya disingkat HES serta jumlah dokter per 10.000 penduduk yang kemudian
disingkat PD. Non-discretionary input yang digunakan adalah persentase penduduk
usia 15 tahun keatas yang tidak memiliki pendidikan sebagaimana mengacu pada
indeks yang dibangun Barro dan Lee (2010), yang selanjutnya disingkat NOEDUC.
Variabel NOEDUC tersebut dipilih sebagai representasi dari kondisi sosial
ekonomi atau input fixed yang eksogen yang dapat mempengaruhi sistem dan
output-output kesehatan, karena semakin rendah tingkat pendidikan seseorang,
semakin sedikit dan lemah pula aksi-aksinya untuk mencapai kehidupanyang lebih
baik, bahkan lebih jauh lagi semakin tidak berpendidikan suatu negara maka akan
semakin acuh pula masyarakatnya terhadap pencapaian-pencapaian status
kesehatan. Output kesehatan yang digunakan disini adalah tingkat harapan hidup
(life expectancy), yang selanjutnya disingkat LE.
Gambar xx. Hubungan statistik antara NOEDUC dengan LE
Sumber : perhitungan penulis
Gambar xx tersebut paling tidak memberikan justifikasi kepada kita
bahwa variabel NOEDUC bisa digunakan sebagai pendekatan untuk input
non-discretionary, terlihat dari hubungannya yang negatif dan relatif kuat.
Data angka harapan hidup dan proporsi penduduk 15 tahun ke atas yang tidak
memiliki pendidikan bersumber dari world bank sedangkan presentase pengeluaran
kesehatan terhadap GDP dan physical density berasal dari national health
accounts (NHA), World Health Organization (WHO). Input sumberdaya kesehatan
yang digunakan disini adalah persentase pengeluaran kesehatan terhadap GDP,
bukan pengeluaran kesehatan perkapita penduduknya. Hal ini dikarenakan untuk
mengimbangi struktur data angka harapan hidup yang sensitifitasnya kecil di
setiap negara. Oleh karena pengeluaran perkapita besar variasinya di setiap
negara, hal itu dinormalkan dengan memilih presentase pengeluaran kesehatan
relatif terhadap GDP. Sehingga struktur data sama-sama tidak begitu besar
variasinya di setiap negara. Data yang digunakan mencakup negara ASEAN + 5,
yaitu ASEAN (Brunei, kamboja, indonesia, laos, malaysia, myanmar, filipina,
singapore, thailand, dan vietnam) serta 5 negara diluar ASEAN tetapi memiliki
hubungan ekonomi yang kuat dengan negara-negara ASEAN, lima negara tambahan itu
adalah : china, korea, jepang, australia, new zaeland. Data yang digunakan
merupakan data tahun 2009.
3.4. Metode Analisis
Penulis memodelkan status output kesehatan (life expectancy) sebagai
variabel dependen dari input sumberdaya kesehatan (health expendure share dan
physical density) serta kondisi sosial ekonomi (dependency ratio). Metode DEA
yang digunakan disini adalah DEA dengan asumsi variable return to scale,
sebagai upaya merelaksasi bahwa output sudah optimal pada asumsi constant
return to scale. Variable return to scale biasa disebut juga sebagai BCC model,
yang mengestimasi efisiensi teknis pada skala operasi tertentu dari
masing-masing DMU atau UPK. Pada penelitian ini kondisi sosial ekonomi
diposisikan sebagai variabel yang fixed dan eksogen karena variabel tersebut
(NOEDUC) berada di luar kekuasaan dari pengambil kebijakan dalam jangka pendek.
Oleh karena itu analisis akan berfokus kepada berapa input (discretionary) yang
bisa di hemat serta output yang masih bisa ditingkatkan, pada kondisi tantangan
sosial ekonomi (NOEDUC) yang tetap. Pemodelan DEA pada penelitian ini
menggunakan software khusus aplikasi DEA yaitu Efficiency Measurement System;
software dapat diunduh di http://www.wiso.uni-dortmund.de/lsfg/or/scheel/ems/)
dengan dibantu Linear programming solver DLL BPMPD yang dibangun oleh Csaba
M´esz´aros.
Analisis dilakukan dengan dua sudut pandang dari model DEA itu
sendiri, yaitu output-oriented dan input-oriented serta dengan menngunakan
konsep radial distance sebagaimana yang dimaksud di dalam penelitian Farrel
(1957) di dalam model BCC (variable return to scale) atau disebut juga
Debreu-Farrell measure. DEA input oriented berfokus kepada minimisasi input
pada tingkat output dan tantangan kondisi sosial ekonomi tertentu. Sedangkan
DEA output oriented memfokuskan analisis kepada maksimisasi output pada tingkat
input dan tantangan kondisi sosial ekonomi tertentu. Khusus pada model input
oriented, penyusun frontier (DMU paling efisien atau composite) harus memiliki
kondisi sosial ekonomi yang paling tidak sama menantangnya dengan negara-negara
yang dievaluasi (tidak sepenuhnya efisien).
DMU atau UPK yang berada pada frontier memiliki nilai efisiensi
sebesar 100% atau 1. Sedangkan DMU yang tidak efisien pada input oriented
memiliki skor kurang dari 100%, dan pada output oriented memiliki skor lebih
dari 100%. DMU yang tidak berada di frontier pada input-oriented model memiliki
arti bahwa input masih bisa dihemat dalam mencapai tingkat output yang sama
pada tantangan sosial ekonomi yang sama. DMU yang tidak berada di frontier pada
output-oriented model memiliki arti bahwa output masih bisa ditingkatkan lagi
tanpa meningkatkan input yang dipakai dan pada kondisi sosial ekonomi tertentu.
IV. Hasil dan
Pembahasan
Kedua orientasi DEA dibawah ini menggunakan pemograman linear dalam
pemecahannya, skor efisiensi dari masing masing DMU dapat dilihat dari kedua
tabel xx dan xx berikut ini. Jelas sekali bahwa perubahan orientasi model DEA
tidak merubah komposisi DMU yang menjadi frontier (DMU yang peling efisien,
yang memiliki nilai efisiensi = 1). Pada kedua orientasi DMU yang paling
efisien sistem kesehatannya secara relatif di negara ASEAN + 5 adalah, brunei,
kamboja, indonesia, jepang, republik korea, myanmar, new zaeland, filipina, dan
singapore (memiliki efficiency score = 1). Hadirnya jepang, brunei, singapore,
republik korea, dan new zaeland sebagai composite frontier yang merupakan
negara maju dan sangat maju sistem kesehatannya memberikan justifikasi
kevalidan hasil DEA yang digunakan oleh penulis. Negara-negara yang relatif
sedang berkembang sistem kesehatannya dan perekonoiannya seperti kamboja,
indonesia, filipina, dan myanmar memberikan pemahaman kepada kita bahwa,
konsumsi sumberdaya kesehatan yang masif tidak menjamin output yang tinggi.
Dengan kata lain, dengan konsumsi yang relatif menengah dan situasi sosial
ekonomi yang membebani, negara-negara tersebut berhasil membawa output
kesehatan ke tingkat terbaiknya relatif terhadap negara-negara lain di dalam
sample. Negara yang tidak efisien sistem kesehatannya baik dilihat dari sisi
input maupun output adalah australia (0.91), china (0.93), laos (0.57),
malaysia (0.98), thailand (0.97), dan vietnam (0.74). Terlihat dari hasil ini
bahwa, negara-negara kaya seperti australia dan malaysia bisa saja tidak
efisien sistem kesehatannya (walaupun sedikit saja jaraknya dari frontier) dan
negara-negara yang relatif tidak terlalu maju seperti kamboja dan myanmar
memiliki ternyata memiliki efisiensi sistem kesehatan yang baik. Analisis
selanjutnya akan mengambil dua negara sebagai sample-untuk analisa yang lebih
mendalam-dari negara sedang berkembang yang tidak efisien secara input yaitu
laos, serta berikutnya negara maju yang keluar sebagai DMU tidak efisien pada
model DEA orientasi output, yaitu australia.
Tabel xx. Input Oriented DEA
DMU
|
Negara
|
Efficiency Score
|
Benchmark (mengacu pada
DMU yang palig efisien)
|
Potential improvement (%)
|
1
|
Australia
|
0.91
|
6, 12, 13
|
9.39
|
2
|
Brunei Darussalam*
|
1.00
|
|
|
3
|
Cambodia*
|
1.00
|
|
|
4
|
China
|
0.93
|
5, 7, 12, 13
|
6.9
|
5
|
Indonesia*
|
1.00
|
|
|
6
|
Japan*
|
1.00
|
|
|
7
|
Korea, Rep.*
|
1.00
|
|
|
8
|
Lao PDR
|
0.57
|
5, 10
|
42.87
|
9
|
Malaysia
|
0.98
|
3, 5, 7, 12
|
2.42
|
10
|
Myanmar*
|
1.00
|
|
|
11
|
New Zealand*
|
1.00
|
|
|
12
|
Philippines*
|
1.00
|
|
|
13
|
Singapore*
|
1.00
|
|
|
14
|
Thailand
|
0.97
|
2, 5, 7
|
2.75
|
15
|
Vietnam
|
0.74
|
3, 5, 7, 12
|
26.14
|
Average potential improvement in input side
|
15.08
|
* = Efficient DMU
Sumber = perhitungan penulis
Pada DEA orientasi baik input maupun output, negara yang paling
tidak efisien sistem kesehatannya adalah laos. Dari sudut pandang minimisasi
input (input oriented), laos masih bisa menghemat 42.87 % sumberdaya
kesehatannya demi mencapai output kesehatan laos di tahun 2009 dengan kondisi
populasi berumur 15 tahun ke atas yang tidak berpendidikan sejumlah level
tertentu. Benchmark laos jika ingin mencapai input yang paling efisien dan
berada di frontier adalah dengan meniru keberhasilan indonesia dan myanmar. Di
tahun 2009, statistik menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran kesehatan negara
ASEAN + 5 relatif terhadap GDP nya adalah 5.27 %, rata-rata jumlah dokter
setiap 10.000 penduduk adalah 12.62, rata-rata proporsi penduduk 15 tahun ke
atas yang tidak berpendidikan adalah 8.83
%, serta angka harapan hidup dengan rata-rata sebesar 73.93 tahun.
Penulis menduga bahwa faktor penting yang menyebabkan laos sangat
jauh dari frontier input yang efisien adalah banyaknya penduduk 15 tahun ke
atas yang tidak berpendidikan, yaitu 29.5 persen, tertinggi di ASEAN + 5.
Faktor lain yang tak kalah pentingnya yaitu borosnya alokasi sumberdaya
kesehatan. Sebesar 4.06 persen GDP laos didedikasikan untuk pengeluaran di
sektor kesehatan dengan mengandalkan sekitar 9 dokter per 10.000 kepala untuk
melayani sistem kesehatannya. Hal tersebut merupakan pemborosan, mengingat
indonesia bisa mencapai hampir 3 persen angka harapan hidup yang lebih tinggi
dari yang dimiliki laos sekarang hanya dengan menggunakan sekitar setengah
bagian dari belanja kesehatan laos serta sepertiga dari jumlah dokter (per 10
000 kepala) yang melayani sistem kesehatan di laos sekarang ini. Hal tersebut
cukup memberikan gambaran bahwa, jelas Laos menurut sisi empiris sebaiknya
mengurangi 42.87 persen penggunaan input-input sistem kesehatannya untuk
mencapai efisiensi input yang maksimal. Penulis menduga bahwa dengan semakin
hematnya penggunaan input-input kesehatan di negara laos akan membuat
pengeluaran di bidang non kesehatan produktif meningkat dan secara simultan meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya yang pada gilirannya akan meningkatkan
tindakan-tindakan kesehatan yang tadinya tidak bisa dilakukan karena memiliki
biaya yang signifikan bagi perekonomian. Secara rata-rata, negara-negara ASEAN
+ 5 memiliki potensi penghematan input-input sumberdaya kesehatan sebesar 15.08
persen. Hal ini berarti seperempat dari sumberdaya kesehatan (input kesehatan)
negara-negara ASEAN + 5 dapat dihemat dalam mencapai 73.93 tahun angka harapan
hidup, di tengah kondisi 8.83 persen penduduknya yang berusia 15 tahun ke atas belum mengenyam
pendidikan.
Tabel xx. Output Oriented DEA
DMU
|
Negara
|
Efficiency Score
|
Benchmark (mengacu pada
DMU yang palig efisien)
|
Potential improvement (%)
|
1
|
Australia
|
1.02
|
6
|
1.7
|
2
|
Brunei Darussalam*
|
1.00
|
|
|
3
|
Cambodia*
|
1.00
|
|
|
4
|
China
|
1.08
|
5, 7, 12, 13
|
8.08
|
5
|
Indonesia*
|
1.00
|
|
|
6
|
Japan*
|
1.00
|
|
|
7
|
Korea, Rep.*
|
1.00
|
|
|
8
|
Lao PDR
|
1.17
|
2, 5, 7
|
16.59
|
9
|
Malaysia
|
1.03
|
5, 7, 12, 13
|
2.53
|
10
|
Myanmar*
|
1.00
|
|
|
11
|
New Zealand*
|
1.00
|
|
|
12
|
Philippines*
|
1.00
|
|
|
13
|
Singapore*
|
1.00
|
|
|
14
|
Thailand
|
1.01
|
2, 5, 7
|
0.54
|
15
|
Vietnam
|
1.09
|
6, 7, 13
|
9.39
|
Average potential improvement in output side
|
6.47
|
* = Efficient DMU
Hasil DEA orientasi output seperti terlihat pada tabel xx
memperlihatkan kepada kita bahwa secara rata-rata output yang masih bisa
ditingkatkan dengan input yang sekarang digunakan dan proporsi populasi 15
tahun keatas yang tidak berpendidikan tertentu adalah 6.47 persen. Sekilas
terlihat bahwa output yang bisa ditingkatkan presentasenya relatif lebih kecil
dari pada input yang bisa dihemat. Penulis menduga hal ini disebabkan karena
nature dari data angka harapan hidup yang variasinya tidak terlalu lebar antara
negara satu dengan yang lain. Sedikit perubahan pada angka harapan hidup
berarti sangat besar pada kenyataannya. Hal tersebut artinya dengan kondisi
konsumsi input dan variabel sosial ekonomi seperti sekarang ini, negara-negara
ASEAN + 5 sebenarnya dapat mencapai angka harapan hidup sekitar 5 tahun lebih
tinggi dari yang ada sekarang.
Kasus Australia yang muncul sebagai negara yang tidak efisien sistem
kesehatannya dilihat dari sisi output merupakan temuan yang menarik. Pada
pemodelan, keluar hasil bahwa australia dapat menjadikan jepang sebagai benchmark
untuk mencapai frontier teratas (efisien). Australia memerlukan 8.51 persen
belanja kesehatan total relatif terhadap GDP nya serta 29.91 dokter per 10.000
kepala untuk merawat masyarakatnya dalam menciptakan 81.54 tahun angka harapan
hidup, di tengah hampir 1 persen penduduk usia 15 tahun keatas tidak mengenyam
pendidikan. Di sisi lain, jepang hanya membutuhkan 8.35 persen dari GDP nya
untuk sektor kesehatan serta hampir 21 dokter per 10.000 kepala untuk melayani
masyarakatnya dalam rangka mencapai 82.93 tahun angka harapan hidup. Dengan
kata lain, jepang membutuhkan sekitar 2 persen belanja kesehatan yang lebih
sedikit dari australia, serta hampir 45 persen jumlah dokter yang lebih sedikit
dari australia untuk menghasilkan angka harapan hidup yang hampir 2 persen
lebih tinggi dari pada australia. Oleh karena itu, dengan karakteristik ekonomi
yang relatif serupa, tergolong negara maju, maka memperhitungkan jarak terdekat
dari frontier teratas, sangatlah rasional bagi negara australia untuk meniru sistem
kesehatan di jepang agar mencapai efisiensi sistem kesehatan yang lebih baik.
V. Penutup
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian menggunakan teknik DEA baik orientasi input
maupun orientasi output, dengan menambahkan variabel non-discretionary input, serta
penghitungan jarak dari frontier DEA dengan cara radial pada data kesehatan
negara-negara ASEAN + 5 tahun 2009, di dapatkan hasil bahwa sembilan dari lima
belas negara keluar sebagai DMU yang efisien. Negara-negara ASEAN + 5 yang
efisien sistem kesehatannya adalah brunei, kamboja, indonesia, jepang, korea
selatan, myanmar, new zaeland, filipina, dan singapore. Tidak hanya
negara-negara maju seperti jepang, brunei, korsel, new zaeland, dan singapura
saja yang efisien sistem kesehatannya relatif terhadap negara-negara ASEAN + 5
lainnya, tetapi juga negara-negara relatif sedang berkembang baik sistem
kesehatannya maupun perekonomiannya seperti indonesia, kamboja, myanmar, dan
filipina dapat juga menjadi DMU yang efisien. Hal ini dikarenakan, bukan besaran
pengeluaran kesehatan yang esensial dalam mempengaruhi output-output kesehatan,
melainkan keseimbangan alokasinya, efektifitas kebijakannya, serta keseimbangan
antara pengeluaran kesehatan dan non kesehatan lah yang berpengaruh. Hal ini
menjustifikasi bahwa tidak selamanya pengeluaran yang besar diikuti oleh
peningkatan output kesehatan yang signifikan juga. Hal ini dibuktikan oleh
munculnya negara-negara maju dan masif pengeluaran kesehatannya seperti
australia, malaysia, dan china sebagai DMU dengan sistem kesehatan yang tidak
efisien (baik dari sisi input maupun output).
Negara dengan inefisiensi output dan input yang paling besar adalah
laos. Dengan penghematan potensial yang bisa dilakukan oleh laos dari sisi
input, maka keseimbangan pengeluaran kesehatan dan non kesehatan meningkat yang
pada gilirannya akan meningkatkan status kesehatan di negara laos kedepannya.
Australia ditemukan sebagai negara sangat maju tetapi tidak efisien sistem
kesehatannya, hal yang paling rasional bagi pemerintah australia dalam
meningkatkan efisiensi sistem kesehatannya adalah dengan mengikuti best
practice dari jepang. Secara rata-rata penghematan potensial yang bisa
dilakukan dari sisi input adalah sebesar 15.08 persen dan dari sisi output
sebesar 6.47 persen. Kebijakan penghematan input dan optimalisasi output
kesehatan tersebut ditujukan semata-mata untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang baik bagi masyarakat sehingga pemborosan ekonomi dapat dihindarkan dan
sumberdaya-sumberdaya yang berhasil dihemat dan dioptimalisasikan tersebut
dapat bermanfaat lebih lanjut bagi sektor-sektor perekonomian produktif lainnya
dan atau sektor kesehatan itu sendiri.
5.2 Saran
Kelemahan dari penelitian ini yang bisa dijadikan bahan perbaikan
bagi penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang adalah :
1.
Penggunaan data yang kurang
updated, sehingga pembaharuan kualitas data akan memperbaiki kualitas hasil dan
pengambilan kesimpulan akan kejadian yang riil terjadi dilapangan saat ini.
2.
Penggunaan output tunggal yaitu
angka harapan hidup dan relatif terbatasnya penggunaan negara-negara sebagai
sample. Penambahan output dapat memperbaiki dan menambah insight bagi
pengambilan kebijakan dan penambahan sample negara akan memperbaiki kualitas
hasik pemodelan dengan DEA.
3.
Dapat dipertimbangkan untuk
memilih variabel input non-discretionary lainnya yang mungkin dapat
mempengaruhi health outcome, seperti kondisi geografis, demografi, dan
kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Banker, R.D., Charnes, A., and Cooper, W.W. (1984), “Some Models for
Estimating Technical and Scale Inefficiency in Data Envelopment Analysis”, Management Science, 30 (9), 1078-92.
Bauer, Paul W., Berger, Allen N., Ferrier, Gary D., and Humphrey,
David B. (1998), “Consistency Conditions for Regulatory Analysis of Financial Institutions:
A Comparison of Frontier Efficiency Methods”, Financial Services Working
Paper, 02/97, Federal Reserve.
Charnes, A., Cooper, W.W., and Rhodes, E. (1978), “Measuring the
Efficiency of Decision Making Units”, European
Journal of Operation Research, 2, 6, 429-44.
Coelli, T.J., Rao, D.S.P., and Battese, G.E. (1998), Introduction to Efficiency and Productivity
Analysis, Kluwer Academic Publishers, Boston.
Denizer, Cevdet A., et.al.
(2000), Measuring Banking Efficiency in
the Pre and Post Liberalization Environment: Evidence from the Turkish Banking
System, World Bank.
Farrell, M.J. (1957), “The Measurement of Productive Efficiency,”
Journal of The Royal Statistical Society, 120, 253-81.
Kumbhakar, S.C. dan Lovell (2000), . “The Measurement of Technical Efficiency,” Journal of The Royal Statistical Society.
Stigltz, Joseph E, (1991),”THE INVISIBLE HAND AND MODERN WELFARE ECONOMICS” working paper No.
3641 NATIONAL BUREAU OF ECONOMIC RESEARCH, 1050 Massachusetts Avenue, Cambridge
Afonso, A.and St. Aubyn, M. (2006) :
Relative Efficiency of Health Provision : a DEA Approach with Non-discretionary
inputs. Working Papers 2006/33,
Departement of Economics at the School of Economics and Management (ISEG),
Technical University of Lisbon.
Hollingsworth, B. :Non-Paramaetric and
Parametric Applications Measuring Efficinecy in Health Care. Health Care
Management Science, Vol. 6(4), pp. 203-218
Strauss, J. and Thomas, D. 1996.
The family and human capital development. In The Handbook of Development
Economics, eds J. Behrman and T. Srinanvasan. North Holland Press, Amsterdam.
Sen, A. (1985) Commodities and
Capabilities. North-Holland, Amsterdam.
Babazono A dan Hillman AL. 1994. A
comparison of International Health outcomes and health care Spending.
International Journal of Technology Assess healthcare, Vol 10. No.3.
Mackenbach, JP. 1991. Healthcare
Expenditure and Mortality from amenable Condition in the European Community.
Health Policy, vol 19.
Barro, Robert dan Jong-Wha Lee. 2010, "A New Data Set of Educational
Attainment in the World, 1950-2010." NBER
Working Paper No. 15902
LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil output lengkapEMS untuk DEA Input Oriented
DMU No
|
DMU
|
Score
|
the {I}{W}
|
pd {I}{W}
|
noeduc {IN}{W}
|
le {O}{W}
|
Benchmarks
|
{S} the {I}
|
{S} pd {I}
|
{S} noeduc {IN}
|
{S} le {O}
|
1
|
Australia
|
0.91
|
0.12
|
0
|
0.06
|
0.01
|
6
(0.86) 12 (0.09) 13 (0.05)
|
0
|
6.68
|
0
|
0
|
2
|
Brunei
Darussalam
|
1.00
|
0.33
|
0
|
0
|
0.01
|
1
|
|
|
|
|
3
|
Cambodia
|
1.00
|
0
|
0.44
|
1.25
|
0.02
|
2
|
|
|
|
|
4
|
China
|
0.93
|
0.17
|
0.02
|
0.04
|
0.01
|
5
(0.14) 7 (0.23) 12 (0.48)
13 (0.15)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
5
|
Indonesia
|
1.00
|
0.37
|
0.04
|
0
|
0.01
|
5
|
|
|
|
|
6
|
Japan
|
1.00
|
0.01
|
0.05
|
90.16
|
0.01
|
1
|
|
|
|
|
7
|
Korea,
Rep.
|
1.00
|
0
|
0.37
|
0
|
0.01
|
4
|
|
|
|
|
8
|
Lao PDR
|
0.57
|
0.24
|
0
|
0
|
0.02
|
5
(0.88) 10 (0.12)
|
0
|
0
|
12.46
|
1.31
|
9
|
Malaysia
|
0.98
|
0.19
|
0.02
|
0.05
|
0.01
|
3
(0.05) 5 (0.36) 7 (0.48)
12 (0.10)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
10
|
Myanmar
|
1.00
|
0.5
|
0
|
0.06
|
0.02
|
1
|
|
|
|
|
11
|
New
Zealand
|
1.00
|
0
|
0.09
|
0.4
|
0.01
|
0
|
|
|
|
|
12
|
Philippines
|
1.00
|
0.26
|
0
|
0.07
|
0.01
|
4
|
|
|
|
|
13
|
Singapore
|
1.00
|
0.26
|
0
|
0
|
0.01
|
2
|
|
|
|
|
14
|
Thailand
|
0.97
|
0.2
|
0.05
|
0
|
0.01
|
2
(0.01) 5 (0.55) 7 (0.44)
|
0
|
0
|
0.42
|
0
|
15
|
Vietnam
|
0.74
|
0.12
|
0.01
|
0.03
|
0.01
|
3
(0.04) 5 (0.04) 7 (0.55)
12 (0.37)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Sumber : Perhitungan
Penulis (bagian berwarna kuning adalah tanda untuk DMU yang efisien)
Lampiran 2
Hasil Output untuk DEA output Oriented
DMU No
|
DMU
|
Score
|
the {I}{W}
|
pd {I}{W}
|
noeduc {IN}{W}
|
le {O}{W}
|
Benchmarks
|
{S} the {I}
|
{S} pd {I}
|
{S} noeduc {IN}
|
{S} le {O}
|
1
|
Australia
|
1.02
|
0.12
|
0
|
0.01
|
0.01
|
6 (1.00)
|
0.16
|
9.28
|
0.8
|
0
|
2
|
Brunei
Darussalam
|
1.00
|
0.33
|
0
|
0
|
0.01
|
2
|
|
|
|
|
3
|
Cambodia
|
1.00
|
0.15
|
0.02
|
0.05
|
0.02
|
0
|
|
|
|
|
4
|
China
|
1.08
|
0.13
|
0.01
|
0.03
|
0.01
|
5
(0.01) 7 (0.27) 12 (0.15)
13 (0.57)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
5
|
Indonesia
|
1.00
|
0.35
|
0.04
|
0
|
0.01
|
4
|
|
|
|
|
6
|
Japan
|
1.00
|
0.11
|
0
|
0.83
|
0.01
|
2
|
|
|
|
|
7
|
Korea,
Rep.
|
1.00
|
0
|
0.23
|
0.11
|
0.01
|
5
|
|
|
|
|
8
|
Lao PDR
|
1.17
|
0.16
|
0.04
|
0
|
0.02
|
2
(0.58) 5 (0.10) 7 (0.32)
|
0
|
0
|
14.33
|
0
|
9
|
Malaysia
|
1.03
|
0.14
|
0.01
|
0.03
|
0.01
|
5
(0.34) 7 (0.55) 12 (0.06)
13 (0.05)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
10
|
Myanmar
|
1.00
|
0.27
|
0
|
0.03
|
0.02
|
0
|
|
|
|
|
11
|
New
Zealand
|
1.00
|
0
|
0.05
|
0.94
|
0.01
|
0
|
|
|
|
|
12
|
Philippines
|
1.00
|
0.2
|
0
|
0.06
|
0.01
|
2
|
|
|
|
|
13
|
Singapore
|
1.00
|
0.19
|
0
|
0.03
|
0.01
|
3
|
|
|
|
|
14
|
Thailand
|
1.01
|
0.2
|
0.05
|
0
|
0.01
|
2
(0.02) 5 (0.52) 7 (0.47)
|
0
|
0
|
0.77
|
0
|
15
|
Vietnam
|
1.09
|
0.09
|
0.03
|
0
|
0.01
|
6
(0.48) 7 (0.46) 13 (0.06)
|
0
|
0
|
1.97
|
0
|
Sumber : Perhitungan
Penulis (bagian berwarna kuning adalah tanda untuk DMU yang efisien)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar