Selasa, 02 April 2013

Mengukur Efisiensi Teknis Sistem Kesehatan Negara-Negara ASEAN + 5

I.                   Pendahuluan

1.1.           Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan prasyarat utama bagi sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai sebuah standar kehidupan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi serta pembangunan ekonomi yang berkualitas memerlukan sumber daya manusia yang “capable” sebagai sumber penggerak utama roda perekonomian. Kini ditengah pesatnya globalisasi serta kemajuan ekonomi di dunia, permintaan terhadap tenaga kerja yang lebih produktif dan standar hidup yang lebih baik pun semakin meningkat. Salah satu aspek penting dalam penciptaan sumber daya manusia yang lebih berkualitas adalah status kesehatan. Pekerja yang produktif adalah pekerja yang memiliki status kesehatan yang baik (Strauss dan Thomas, 1996), disamping itu kesehatan juga merupakan dimensi dan indikator utama dari kemampuan dan kesejahteraan manusia (Sen, 1985).

Terlepas dari pentingnya sistem kesehatan sebagai hakikat kehidupan yang layak dan sejahtera, negara-negara di dunia dewasa ini sedang menghadapi tantangan serta ancaman yang serius terkait efisiensi sistem kesehatannya. Mereka menghadapi isu-isu terkait apakah belanja kesehatan masyarakatnya benar-benar memberikan manfaat yang setimpal atau sebaliknya hal tersebut merupakan pemborosan ekonomi semata. Hal ini menjadi krusial karena, resiko yang buruk, khususnya dalam bidang kesehatan, akan mengganggu alokasi waktu dan anggaran keuangan yang seharusnya bisa dialokasikan pada pos-pos yang lebih produktif, seperti investasi atau belanja ekonomi produktif lainnya yang pada gilirannya dapat membawa para pelaku ekonomi pada tingkat kehidupan yang lebih baik.

Dewasa ini para pengambil kebijakan kesehatan nasional telah mendedikasikan waktu dan perhatiannya kepada evaluasi performa sistem kesehatannya. Terkait dengan hal tersebut, banyak negara yang terdorong melakukan reformasi sistem kesehatan dalam rangka meningkatkan performanya. Pendanaan untuk sistem layanan kesehatan telah disadari banyak ahli dan akademisi sebagai hambatan utama bagi pemerintah untuk menyediakan sistem layanan kesehatan yang memadai di negaranya. Babazono dan Hillman (1994) menyatakan bahwa pada penelitiannya, mereka menemukan bahwa output-output performa kesehatan tidak berhubungan signifikan secara statistik dengan total pengeluaran kesehatan perkapita pada studi kasus 21 negara OECD tahun 1988. Mereka menyimpulkan bahwa keseimbangan alokasi sumberdaya-sumberdaya kesehatan serta keseimbangan antara pengeluaran kesehatan dan non-kesehatan merupakan faktor yang lebih penting dalam mendorong peningkatan performa atau output kesehatan di suatu negara. Hal ini juga senada dengan temuan Mackenbach (1991) yang menyatakan bahwa tingginya pengeluaran kesehatan tidak serta merta menurunkan tingkat kematian dalam jumlah yang signifikan. Oleh karena itu, ia menyimpulkan bahwa biaya yang efektif sangat diperlukan disini. Penelitian-penelitian tersebut menekankan kepada efisiensi sumberdaya kesehatan bukan semata-mata besaranya saja. Hal ini mengkonfirmasi kembali kepada kita pentingnya mengevaluasi efisiensi sistem kesehatan demi tercapainya sistem layanan kesehatan yang lebih baik lagi, pada khususnya, serta kehidupan ekonomi yang lebih sejahtera pada umumnya.

Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari teknik pemrograman linear, penulis mencoba menghitung efisiensi teknis dari sistem kesehatan negara-negara ASEAN + 5 dengan membandingkan output-output layanan kesehatan yang bisa dicapai pada negara-negara tersebut, pada tiap-tiap level input yang digunakannya serta tantangan sistem kesehatan yang dihadapinya. Pertanyaan penelitian yang utama di dalam tulisan ini adalah : seberapa efisienkah sistem kesehatan negara-negara ASEAN + 5 (secara relatif antara sesama ASEAN + 5 itu sendiri) baik dilihat dari sisi output maupun sisi input? Serta seberapa besarkah input-input yang bisa dihemat dan output yang bisa ditingkatkan? Efisiensi teknis didapatkan ketika output mencapai maksimal untuk tiap penggunaan sejumlah input tertentu, atau bisa juga diartikan sebagai tercapainya input yang paling sedikit untuk tiap target output tertentu. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat seberapa besar sumberdaya-sumberdaya kesehatan yang bisa dihemat di dalam perekonomian ASEAN + 5.

II. LANDASAN TEORI

2.1             Konsep Efisiensi
Dua abad yang lalu, Adam Smith dalam tulisannya yang terkenal The Wealth of Nation, menyatakan “not only that individuals were lead in the pursuit of their interest by an invisible hand to persue the nation’s interest but also that this pursuit of self interest was a far more reliable way to ensure that the public interest would be served than any alternative –surely better than relying on some goverment leader, as well-intentioned that leader might be” (Stiglitz, Joshep E, 1991).  Argumen Adam Smith ini menjadi dasar para ekonom untuk memahami dan membangun theory mengenai organisasi ekonomi, sistem pasar persaingan sempurna yang menyediakan cara yang efisien untuk mengatur aktifitas organisasi ekonomi dan kebijakan ekonomi untuk memastikan terjadinya sebuah efisiensi yang tergantung dari sistem pasar dan kepentingan pribadi dari setiap pelaku ekonomi. Pencapaian kepuasan individual masyarakat menjadi sebuah mekanisme yang otomatis secara tidak langsung akan mengalokasikan sumberdaya yang terbatas secara efisien kedalam mekanisme pasar.
Sistem pasar persaingan sempurna menjadi basis awal berkembangnya teori efisiensi, dimana pasar melalui tangan tidak terlihat akan selalu mengalokasikan sumberdaya secara efisien kepada para pelaku ekonomi didalam pasar persaingan sempurna. Namun begitu, saat konsep tersebut menjadi usang, karena banyak sekali ditemukannya kegagalan pasar. Dalam teori ekonomi yang lebih maju, ditemukan sebuah konsep keseimbangan pasar yang di kenal dengan The Fundamental Theorem of Welfare Economics, dimana teori ini mengemukakan hubungan antara konsep keseimbangan pasar dengan konsep pareto efisiensi. Teori ini terdiri dari first theorem dan second theorem.  The first theorem menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu competitive ekonomi adalah selalu pareto efisien. Dimana dalam keadaan pareto efisien individu yang melakukan pertukaran akan mencapai kepuasan maksimal tanpa membuat individu lain menjadi lebih buruk. Hal ini mengandung pengertian bahwa ternyata terdapat perbedaan alokasi sumberdaya dalam perekonomian diantara setiap individu yang tergantung dari initial endowmen masing-masing individu. Implikasi lainnya adalah dalam the first theorem ini adalah timbulnya sebuah kegagalan pasar yaitu eksternalitas, monopoli alamiah, dan barang-barang publik.
The second theorem menyatakan bahwa “every parreto effisien allocation can be attained trought the price system. All the goverment to do is engage in some initial lumpsum transfer” (Stiglitz, Joshep E, 1991). the second theorem menyatakan mengandung pengertian bahwa harga merupakan mekanisme pengalokasian sumber daya kedalam pasar. Namun begitu terdapat perbedaan alokasi sumber daya sehingga menyebabkan adanay perbedaan pendapatan, perbedaan informasi dan pasar yang tidak sempurna. Adanya kegagalan pasar tercermin dari perbedaan harga yang timbul dari setiap barang dan jasa yang di produksi dan dikonsumsi oleh setiap invdividu. Selain itu kegagalan pasar juga menyebabkan adanya perbedaan kekeyaan, perbedaan informasi dari setiap pelaku pasar dan timbulnya monopoli. Untuk itu peran pemerintah adalah mengurangi dampak kegagalan pasar tersebut dengan menarik pajak untuk dan mendistribusikannya kepada publik, sehingga timbullah barang publik.
Para ekonom arus utama yang penting dalam mengalokasikan sumber daya yang ada dalam perekonomian. tidak berasumsi apriori bahwa pasar lebih disukai daripada bentuk organisasi sosial lainnya. Bahkan, banyak analisa telah dilakukan untuk membahas beragam kasus yang disebut "kegagalan pasar", yang mengarah pada alokasi sumber daya yang tidak optimal. Sehingga banyak ekonom akan berusaha untuk mencari kebijakan yang akan menghindari kesia-siaan langsung yaitu dengan cara melibatkan pemerintah sebagai regulator dalam mengalokasikan sumberdaya dalam perekonomian, pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengikat para pelaku pasar atas dasar suatu norma untuk mencapai kesejahteraan optimal.
Ditinjau dari teori ekonomi ada dua macam pengertian efisiensi, yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomi. Efisiensi ekonomi mempunyai sudut pandang makroekonomi, sementara efisiensi teknis mempunyai sudut pandang mikroekonomi. Pengukuran efisiensi teknis cenderung terbatas pada hubungan teknis dan operasional dalam proses konversi input menjadi output. Sedangkan dalam efisiensi ekonomi, harga tidak dapat dianggap sudah ditentukan (given), karena harga dapat dipengaruhi oleh kebijakan makro (Sarjana, 1999).
Gambar 2.2 Garis Frontier Produksi

Menurut Farrell (1957) efisiensi dari perusahaan terdiri dari dua komponen, yaitu efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi teknis mencerminkan kemampuan dari perusahaan dalam menghasilkan output dengan sejumlah input yang tersedia. Sedangkan efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan perusahaan dalam mengoptimalkan penggunaan inputnya, dengan struktur harga dan teknologi produksinya. Kedua ukuran ini yang kemudian dikombinasikan menjadi efisiensi ekonomi (economic efficiency). Suatu perusahaan dapat dikatakan efisien secara ekonomi jika perusahaan tersebut dapat meminimalkan biaya produksi untuk menghasilkan  output tertentu dengan suatu tingkat teknologi yang umumnya digunakan serta harga pasar yang berlaku.
Menurut Kumbhaker dan Lovell (2000), efisiensi teknis hanya merupakan satu komponen dari efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Namun, dalam rangka mencapai efisiensi ekonominya suatu perusahaan harus efisien secara teknis. Dalam rangka mencapai tingkat keuntungan yang maksimal, sebuah perusahaan harus memproduksi output yang maksimal dengan jumlah input tertentu (efisiensi teknis)  dan memproduksi output dengan kombinasi yang tepat dengan tingkat harga tertentu (efisiensi alokatif).

2.2             Konsep Penghitungan Efisiensi
Menurut Bauer et. al. (1998), beberapa tahun terakhir ini perhitungan kinerja lembaga keuangan lebih difokuskan kepada frontier efficiency atau x-efficiency, yang mengukur penyimpangan dari lembaga keuangan berdasarkan ”best practice atau berlaku umum pada frontier efisiennya. Jadi, efisiensi frontier dari suatu lembaga keuangan diukur melalui bagaimana kinerja lembaga keuangan tersebut relatif terhadap perkiraan kinerja lembaga keuangan ”terbaik” dari industri tersebut, dengan catatan semua lembaga keuangan tersebut menghadapi kondisi pasar yang sama.
Frontier efficiency cukup superior bagi sebagain besar standar rasio keuangan dari laporan keuangan—seperti return on aset atau cost/revenue ratio – yang umumnya digunakan oleh regulator, manager lembaga keuangan, atau konsultan industri dalam mengevaluasi kinerja keuangan. Frontier efficiency superior karena ukuran dari frontier efficiency menggunakan teknik pemrograman atau statistik yang menghilangkan pengaruh dari perbedaan di dalam harga input dan faktor pasar eksogen lainnya yang mempengaruhi kinerja standar (rasio) dalam rangka untuk mendapatkan estimasi yang terbaik berdasarkan kinerja dari para manager.
Frontier efficiency digunakan secara lebih luas di dalam analisis regulasi untuk mengukur pengaruh dari merger dan akuisisi, regulasi modal, deregulasi suku bunga deposito, dan pergeseran restriksi geografis pada cabang dan holding dari perusahaan akuisisi. Keuntungan yang paling utama dari indikator ini dibandingkan dengan indikator lainnya adalah bahwa indikator ini mengukur secara obyektif kuantitatif dengan menghilangkan pengaruh dari harga pasar dan faktor eksogen lainnya yang mempengaruhi kinerja yang akan diobservasi.
Dua puluh tahun terakhir, cukup banyak pendekatan frontier yang ditemukan dalam mengevalusi kinerja keuangan yang berbeda, baik dari asumsi, bentuk frontier, keberadaan random error, maupun (jika random error dibenarkan) dari asumsi distribusi jika terjadi ketidakefisienan. Adapun pendekatan tersebut dapat dibedakan menjadi pendekatan parametrik dan pendekatan nonparametrik.

2.3.1       Pendekatan Parametrik dan Nonparametrik
Pendekatan parametrik melakukan pengukuran dengan menggunakan ekonometrik yang stokastik dan berusaha untuk menghilangkan gangguan dari pengaruh ketidakefisienan. Ada tiga pendekatan parametrik ekonometrik, yaitu: 1) Stochastic Frontier Approach (SFA); 2) Thick Frontier Approach (TFA); dan 3) Distribution-free Approach (DFA).
Sementara itu, pendekatan nonparametrik dengan program linier (Nonparametric Linear Programming Approach) melakukan pengukuran nonparametrik dengan menggunakan pendekatan yang tidak stokastik dan cenderung ”mengkombinasikan” gangguan dan ketidakefisienan. Hal ini dibangun berdasarkan penemuan dan observasi dari populasi dan mengevaluasi efisiensi relatif terhadap unit-unit yang diobservasi. Pendekatan ini dikenal sebagai Data Envelopment Analysis (DEA). DEA adalah suatu teknik pemrograman matematika yang mengukur tingkat efisiensi dari unit pengambil keputusan (UPK) atau decision-making unit relatif terhadap UPK yang sejenis ketika semua unit-unit ini berada pada atau dibawah ”kurva” efisien frontiernya. Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes pada tahun 1978. Semenjak itu penerapan pendekatan ini semakin berkembang. (Cevdet et.al., 2000). Pemrograman linier sangat tergantung kepada populasi yang dijadikan sampel sehingga cenderung jauh dari kesalahan spesifikasi (Lovell, 1993). Selanjutnya, kinerja dari suatu UPK sangat relatif terhadap UPK lainnya, khususnya yang menyebabkan ketidakefisienan. Pendekatan ini juga dapat melihat bagaimana suatu UPK itu melakukan penyempurnaan kinerja keuangannya sendiri sehingga menjadi efisien.



Metode Pengukuran Efisiensi
Non-parametrik
Parametrik
Data Envelopment Analysis
Free Disposal Hull
Stochastic Frontier Approach
Thick Frontier Approach
Distribution-free Approach
 











Keuntungan dari penggunaan DEA adalah bahwa pendekatan ini tidak memerlukan spesifikasi yang eksplisit dari bentuk fungsi dan hanya memerlukan sedikit struktur untuk membentuk frontier efisiensinya. Kelemahan yang mungkin muncul adalah ”self identifier” dan ”near self identifier”.



2.3.2       Teknik Pengukuran Efisiensi
Pengukuran efisiensi dengan menggunakan pendekatan frontier sudah digunakan selama 40 tahun lebih (Coelli, 1996). Metode utama yang menggunakan linier programming dan metode ekonomterika adalah: 1) Data Envelopment Analysis; dan 2) Stokastic Frontier.
Pengukuran efisiensi modern ini pertama kali dirintis oleh Farrell (1957), bekerja sama dengan Debreu dan Koopmans, dengan mendefinisikan suatu ukuran yang sederhana untuk mengukur efisiensi suatu perusahaan yang dapat memperhitungkan input yang banyak. Efisiensi yang dimaksudkan oleh Farrell terdiri dari efisiensi teknis (technical efficiency) yang merefleksikan kemampuan dari suatu perusahaan untuk memaksimalkan output dengan input tertentu, dan efisiensi alokatif (allocative efficiency) yang merefleksikan kemampuan dari suatu perusahaan yang memanfaatkan input secara optimal dengan tingkat harga yang telah ditetapkan. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian dikombinasikan untuk menghasilkan efisiensi ekonomis (total).
a.      Pengukuran Berorientasi Input (Input-Oriented Measures)
Pengukuran berorientasi input menunjukkan sejumlah input dapat dikurangi secara proporsional tanpa mengubah jumlah output yang dihasilkan. Farrell memberikan ilustrasi dengan melibatkan perusahaan-perusahaan yang menggunakan dua input (X1 dan X2) untuk memproduksi satu output (y) dengan asumsi constant return to scale. Sebuah perusahaan menggunakan dua input yaitu  X1 dan X2 untuk memproduksi output sebesar y (asumsi constant return to scale). Isoquant SS1 menggambarkan kombinasi input untuk menghasilkan tingkat output yang sama (efisien secara teknis). Isocost CC1 menggambarkan kombinasi input yang dapat dibeli oleh produsen dengan tingkat biaya yang sama (efisien secara alokatif). Garis OM menunjukkan kombinasi input yang digunakan oleh suatu perusahaan. Titik Q’ menunjukkan efisien secara teknikal dan alokatif. Titik M menunjukkan ketidakefisienan karena tidak berada pada kurva isocost dan isoquant. Titik N efisien secara alokatif sedangkan titik Q efisien secara teknis. Efisien secara teknis diperoleh dari rasioTE = OQ/OM. Efisien secara alokatif diperoleh dari rasio AE = ON/OQ – selama NQ merepresentasikan bahwa pengurangan biaya produksi akan terjadi jika produksi secara teknis maupun alokatif efisien pada titik Q’. Sehingga total efisiensi sama dengan ON/OM – NM adalah pengurangan biaya produksi.
Fungsi produksi yang menunjukkan  fully efficient firm ’perusahaan yang efisien penuh’ (SS1)  secara praktek tidak diketahui. Oleh sebab itu, perlu diestimasi melalui sampel observasi dari perusahaan-perusahaan dalam satu industri. Menurut Farrell untuk mengestimasi  fungsi produksi tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) non-parametric piecewise-linear convex isoquant, dan b)  fungsi parametrik, seperti bentuk Cobb-Douglas. Sedangkan Coelli menggunakan pendekatan nonparametrik DEA untuk mengestimasi fungsi produksi yang efisien tersebut.

 








Catatan: AE: Efisiensi Alokatif; TE: Efisiensi Teknis
Sumber: Coelli, et.al.,  1996.
Gambar 2.3 Efisiensi Teknis dan Alokatif dengan Orientasi Input

Pada Gambar 2.3 tampak bahwa perusahaan menggunakan sejumlah input tertentu yaitu titik M, untuk memproduksi satu unit output. Perusahaan yang tidak efisien secara teknis akan berada di sepanjang titik QM, ketika seluruh input dapat dikurangi secara proposional tanpa mengurangi jumlah outputnya. Umumnya ini direpresentasikan dengan persentasi yang merupakan rasio antara QM/OM, ketika seluruh input dapat dikurangi. Efisiensi teknis dari perusahaan dihitung berdasarkan rasio antara OQ dengan OM.
TEI = OQ/OM, atau sama dengan 1- QM/OM
0 <  TEI  < 1 (Indikator dari tingkat efisiensi dari perusahaan)
I menunjukkan input oriented measure.
Jika TEI  = 1 menunjukkan bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang efisien, sebagai contoh titik Q, ketika TEI  = 1 karena titik Q berada pada garis isoquant.
Jika rasio input terhadap harga direpresentasikan dengan garis CC1, maka dapat digunakan untuk menghitung efisiensi alokatif. Efisiensi alokatif dari perusahaan yang beroperasi pada tingkat harga p (tertentu) didefinisikan sebagai rasio dari ON/OQ.
AEI = ON/OQ
Sepanjang garis NQ menunjukkan pengurangan dari biaya produksi yang terjadi jika efisiensi alokatif maupun teknis terjadi pada titik Q’ sehingga dapat terbentuk efisiensi ekonomi yang merupakan rasio dari:
EEI = ON/OM,
ketika NM dapat direpresentasikan sebagai pengurangan biaya produksi. Sebagai catatan, efisiensi teknis dan alokatif membentuk efisiensi ekonomi.
TEI X AEI = OQ/OM X ON/OQ = ON/OM
Semua nilai efisiensi berada antara nol dan satu.
b.      Pengukuran Berorientasi Output (Output-Oriented Measures)
Orientasi output mengukur bilamana sejumlah output dapat ditingkatkan secara proporsional tanpa mengubah jumlah input yg digunakan.
C
0
B
D
A
f(x)
D
P
X
0
P
B
y
A
D
C
X
f(x)
 






Sumber: Coelli, et.al.,  1996.
Gambar 2.4 Efisiensi Teknis Berorientasi Input dan Output dan Return to Scale
Sumber: Coelli, et.al.,  1996.
Gambar 2.5 Efisiensi Teknis dan Alokatif dengan Orientasi Output

Titik A dan B1 menggambarkan skala efisiensi yang dihasilkan oleh perusahaan A dan B1. Kurva ZZ1 adalah kurva kemungkinan produksi (production possibility curve) yang menunjukkan efisien secara teknis. Kurva DD1 menggambarkan kurva isorevenue (efisien secara alokatif). Titik B dan B1 menggambarkan efisien secara teknikal karena terletak pada isoquant. CB1 efisien secara alokatif karena terletak pada isorevenue DD1. B1 efisien secara teknis dan alokatif. Titik OE menunjukkan kombinasi output yang dihasilkan oleh perusahaan. Titik A  merupakan titik inefisieni secara teknis maupun alokatif karena tidak terletak pada ZZ1 dan DD1. AB merupakan inefisieni secara teknis yang berarti bahwa output bisa ditingkatkan menjadi B tanpa adanya tambahan input. Penghitungan efisiensi teknis dengan pendekatan output adalah rasio dari OA/OB. Isorevenue adalah garis yang menggambarkan kombinasi output yang dihasilkan oleh perusahaan dengan tingkat pendapatan yang sama. Efisiensi alokatif diperoleh melalui rasio OB/OC. Jika digabungkan, maka menjadi efisiensi ekonomi OA/OB X OB/OC = OA/OC.

2.3             Penelitian Sebelumnya.
Penelitian mengenai efisiensi biaya dalam mendapatkan pelayanan kesehatan telah banyak dilakukan, terutama sekali untuk melihat kebijakan kesehatan di negara-negara berkembang. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional yang konsern terhadap peningkatan kesehatan penduduk dunia seperti WHO dan lainnya juga turut memberikan penambahan pemahaman terhadap penelitian yang berkaitan dengan efisiensi pelayanan kesehatan.
Donna Retzlaff-Roberts, dkk, menulis mengenai efisiensi teknikal dalam penggunaan pelayanan kesehatan dengan membandingkan negara-negara OECD. Tulisan tersebut menganalisa bagaimana negara-negara OECD meng-Utilisasi input kesehatan dengan cara yang paling efisien dan menghasilkan output maksimal dalam penggunaan pelayanan kesehatan. Metode dalam menganalisa efisiensi ini menggunakan Data Envelopment Analysis. Input yang digunakan terdiri dari dua kategori yaitu input kesehatan dan input sosial. Input kesehatan terdiri dari jumlah tempat tidur di dirumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan perseribu populasi, MRI atau Magnetic Resonance Imager yang menggambarkan mengenai perkembangan teknologi kesehatan perseribu populasi. Selain itu juga ada jumlah dokter dan pengeluaran di bidang kesehatan. Sedangkan input sosial terdiri dari tingkat pendidikan, gini indeks yang menggambarkan distribusi pendapatan penduduk dan persentase pengguna tembakau. Sedangkan output terdiri dari tingkat kematian bayi dan usia harapan hidup masyarakat.
Penelitian ini menemukan bahwa beberapa negara maju memiliki skor efisiensi dalam penggunaan input dan menghasilkan output kesehatan yang optimal seperti Jepang dan Swedia, dan ada beberapa negara yang efisien dalam menggunakan salah satu jenis input saja. Seperti Turki dan Mexico, negara dengan pengeluaran terhadap sektor kesehatan yang moderat ternyata terlihat efisien dalam menggunakan input kesehatannya namun masih membutuhkan peningkatan dalam menghasilkan output kesehatannya.
Nick Kontodimoulos, Panagios Nanos dan Dimitris Niakas (2005) melakukan penelitian efisiensi keseimbangan pelayanan kesehatan dan akses ekuitas pada wilayah terpencil di Yunani. Dengan menggunakan DEA, mereka mencari tingkat efisiensi dari rumah sakit skala kecil yang dikenal dengan rumah sakit pusat pelayanan atau hospital-health centers (HHCs). Metode DEA sengaja digunakan karena dapat membantu mengidentifikasi dalam sistem perawatan kesehatan dengan tolak ukur kinerja pengaturan dan ini dapat membantu administrator dan pembuat kebijakan dalam mengukur sasaran perbaikan. Keberadaan HHCs di Yunani bertujuan untuk menyediakan pelayanan kesehatan tingkat primer dan sekunder serta diharapkan juga dapat menangani permasalahan tentang obat-obatan pencegah penyakit, higenitas, serta isu-isu kesehatan masyarakat secara umum.
HHCs ditempatkan pemerintah Yunani area-area terpencil dan melayani populasi dalam jumlah yang terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pandangan mengenai tingkat efisiensi produktivitas  terkait pelayanan kesehatannya. Sampel yang digunakan sebanyak 17 dari 18 unit HHCs yang ada di negara tersebut. Sejumlah variabel yang digunakan sebagai input yaitu jumlah dokter, suster dan tempat tidur di HHCs tersebut. Sementara output yang dipakai ialah jumlah pasien rawat inap dan pasien rawat jalan serta pelayanan pencegahanan penyakit. Model DEA yang digunakan ialah orientasi input, yang memperbolehkan constant return to scale dan kemudian unit-unit tersebut dirangking berdasarkan pendekatan benchmark tertentu. 
Hasil penelitian berdasarkan menggunakan variabel pelayanan pencegahan penyakit dan tidak menggunakan variabel tersebut masing-masing secara berurutan menunjukkan efisiensi teknis yaitu 26,77 persen dan 25,13 persen. Lokasi keberadaan HHCs mempengaruhi pelayanan dari HHCs tersebut, misalnya HHCs yang berada di pulau-pulau kecil dan pedesaan menunjukkan hasil yang lebih tidak efisien Sehingga peningkatan efisiensi harus dicoba tanpa mengesampingkan aspek akses ekuitas, kriteria sosial yang dirasa yang sama pentingnya. Terkait hasil penelitian tersebut, pembuat kebijakan tampaknya memiliki dua pilihan untuk perbaikan yang pertama adalah mengarahkan upaya untuk memperluas ketentuan pelayanan medis preventif, yang sepertinya
menjadi kontributor penting untuk efisiensi secara keseluruhan, dan
yang kedua ialah potensi adopsi telemedicine, yang akan  menguntungkan dalam hal akses, pemerataan dan kualitas
pelayanan kesehatan, kepada warga
pedesaan dan pedalaman.
Alfonso dan St Aubyn (2006) mengestimasi model semi-parametrik produksi kesehatan dengan menggunakan DEA berbasis dua tahap pendekatan untuk negara-negara OECD dalam durasi tahun 2000-2003. Variabel input mencakup indikator-indikator teknologi medis dan pekerja kesehatan. Output diukur dengan indikator berupa angka harapan hidup dan kematian bayi. Para peneliti menggunakan analisis komponen utama (PCA) dari output harapan hidup, tingkat kelangsungan hidup bayi dan potensi jumlah tahun hidup yang tidak hilang. Hal ini mengurangi dimensi output multivariat untuk satu ukuran tunggal yang memiliki keuntungan ketika ukuran sampel yang relatif kecil. Namun, dengan menjalankan PCA maka dapat mengukur output buatan yang mungkin tidak mewakili output dari setiap sistem pelayanan kesehatan cukup baik.
Dalam model dasar, di antara 21 negara OECD, Kanada, Finlandia, Jepang, Korea, Spanyol, Swedia dan Amerika Serikat menunjukkan efisiensi tertinggi. Inefisiensi di sektor kesehatan telah menemukan faktor terkait, setidaknya dalam jangka pendek sampai menengah, di luar kendali dari sistem kesehatan: PDB per kapita, tingkat pendidikan, kebiasaan merokok, dan obesitas. Dalam langkah berikutnya, peneliti memperhitungkan perbedaan dalam konsumsi pendapatan, obesitas dan tembakau nasional dan memperbaiki nilai efisiensi untuk faktor-faktor ini. Membandingkan peringkat dan nilai efisiensi dari model dikoreksi dengan nilai dan peringkat yang dihasilkan dari koreksi, terjadi perubahan signifikan. Beberapa negara yang sebelumnya peringkat buruk sekarang lebih dekat ke perbatasan kemungkinan produksi - misalnya Denmark, Republik Ceko, Hungaria, Republik Slovakia, dan Inggris. Di sisi lain, negara-negara seperti Kanada, Jepang, Swedia dan Amerika Serikat menerima skor efisiensi yang sangat rendah setelah terkoreksi.Top of Form
Spinks dan Hollingsworth (2005) menganalisa lebih jauh dalam mengintegrasikan faktor-faktor sosial ekonomi ke dalam model. Mereka menggunakan aspek-aspek untuk pendidikan (harapan tahun sekolah), pekerjaan (tingkat pengangguran), dan pendapatan (GDP per kapita) sebagai input, tambahan untuk total pengeluaran kesehatan. Harapan hidup saat lahir adalah sebagai output saja. Mereka menghitung efisiensi teknis dari negara-negara OECD berdasarkan data yang diberikan oleh masing-masing negara tersebut dan juga WHO. Dalam pengaturan WHO, mereka menggunakan ukuran output yang berbeda. Turki, Meksiko, Korea, Yunani, Spanyol dan Jepang mencapai efisiensi penuh dalam kedua model (data OECD dan WHO). Italia dan Prancis berada di perbatasan hanya dalam pengaturan WHO. Islandia dan Swiss yang diidentifikasi efisien hanya dalam pengaturan OECD. Defisit efisiensi yang paling luar biasa terdapat pada Denmark, AS, Belgia dan Germany. Spinks dan Hollingsworth juga menghitung perubahan dalam efisiensi antara 1995 dan 2000 (data OECD) dan 1993 dan 1997 ( data WHO) menggunakan Malmquist terpilah -Index. Nilai rata-rata dari komponen mengejar 0,961 untuk dataset OECD menunjukkan bahwa secara keseluruhan, negara-negara anggota telah pindah sedikit menjauh dari perbatasan, mewakili penurunan dalam efisiensi teknis. Demikian pula, nilai perubahan berarti teknologi (pergeseran perbatasan) dari 0,995 akan menunjukkan bahwa efisiensi seluruh teknologi telah sedikit menurun. Secara keseluruhan, efisiensi rata-rata seluruh sampel telah menurun antara tahun 1995 dan 2000 (berarti Malmquist-Index = 0,956). Menariknya, hasil menggunakan dataset WHO bergerak sebaliknya untuk hasil untuk Dataset OECD. Secara keseluruhan, efisiensi teknis telah diperbaiki (berarti mengejar komponen = 1,041), sedangkan perbatasan efisien telah ditarik (rata-rata pergeseran perbatasan = 0,974). Produktivitas faktor total tampaknya telah sedikit meningkat antara tahun 1993 dan 1997. (MI = 1,014).
Kedua pendekatan dibahas di atas (Alfonso dan St Aubyn 2006; Spinks dan Hollingsworth 2005) menggabungkan langkah-langkah sosial ekonomi atau gaya hidup secara lebih eksplisit ke dalam analisis efisien. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, beberapa langkah dari status sosial ekonomi, seperti pendapatan rata-rata, tingkat perkembangan ekonomi secara keseluruhan, pendidikan dan faktor lingkungan telah jelas terbukti berhubungan dengan status kesehatan (Macintyre 1993, Kaplan et al. 1996, Laporte 2002). Dengan kata lain, negara-negara yang berbeda mungkin menghadapi batas-batas yang berbeda efisiensi individu. Itulah mengapa ide untuk memperbaiki nilai efisiensi untuk beberapa faktor penting yang tidak dapat dipengaruhi oleh sistem perawatan kesehatan, setidaknya tidak dalam jangka pendek.

III. Metodologi

Metodologi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode nonparametric Data Envelopment Analaysis (DEA). DEA merupakan suatu teknik programa linier yang digunakan untuk mengevaluasi bagaimana suatu proses pengambilan keputusan dalam suatu unit, dalam hal ini bank syariah, beroperasi secara relatif dengan bank syariah lain dalam sampel. Selanjutnya proses tersebut akan membentuk suatu garis frontier yang terbentuk dari bank-bank yang efisien yang kemudian dibandingkan dengan bank-bank yang tidak efisien untuk menghasilkan nilai efisiensinya masing-masing. Nilai efisiensi tersebut akan terletak di antara nol dan satu. Bank yang efisien akan memiliki nilai satu. Namun, dalam pengertian bank yang paling efisien itu tidak berarti memberikan output yang paling maksimum di antara sampel bank syariah yang ada, tetapi memberikan gambaran best practices dari output di antara bank-bank syariah lainnya.

3.1.1       Data Envelopment Analysis
Data envelopment analysis pertama kali diperkenalkan oleh  Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun 1978 dan 1979. Semenjak itu pendekatan dengan menggunakan DEA ini banyak digunakan di dalam penelitian-penelitian operasional dan ilmu manajemen. Pendekatan DEA lebih menekankan pendekatan yang berorientasi kepada tugas dan lebih memfokuskan kepada tugas yang penting, yaitu mengevaluasi kinerja dari unit pembuat keputusan/UPK (decision making units). Analisis yang dilakukan berdasarkan kepada evaluasi terhadap efisiensi relatif dari UPK yang sebanding. Selanjutnya UPK-UPK yang efisien tersebut akan membentuk garis frontier. Jika UPK berada pada garis frontier, maka UPK tersebut dapat dikatakan efisien ralatif dibandingkan dengan UPK yang lain dalam peer group-nya. Selain menghasilkan nilai efisiensi masing-masing UPK, DEA juga menunjukkan unit-unit yang menjadi referensi bagi unit-unit yang tidak efisien.
Dimana, DMU = UPK; n = UPK  yang akan dievaluasi; m = input-input yang berbeda; p = output-output yang berbeda; xij = jumlah input I yang dikonsumsi oleh UPKj; ykj = jumlah output k yang diproduksi oleh UPKj.
Semenjak tahun 1980-an, pendekatan ini banyak digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dari industri perbankan secara nasional. Pendekatan DEA ini merupakan pendekatan nonparametric. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak memerlukan asumsi awal dari fungsi produksi. Namun, kelemahan DEA adalah bahwa pendekatan ini sangat sensitif terhadap observasi-observasi ekstrem. Asumsi yang digunakan adalah tidak ada random error, deviasi dari frontier diindikasikan sebagai inefisiensi. Ada dua model yang sering digunakan dalam  pendekatan ini, yaitu model CCR (1978) dan model BCC (1984).

3.1.2        Constant Return to Scale (CRS)
Model constant return to scale  dikembangkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (Model CCR) pada tahun 1978. Model ini mengasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output adalah sama (constant return to scale). Artinya, jika ada tambahan input sebesar x kali, maka output akan meningkat sebesar x kali juga. Asumsi lain yang digunakan dalam model ini adalah bahwa setiap perusahaan atau unit pembuat keputusan (UPK) beroperasi pada skala yang optimal. Rumus dari constant return to scale dapat dituliskan sebagai berikut:
dimana maksimisasi di atas merupakan efisiensi teknis (CCR), xij adalah banyaknya input tipe ke-i dari UPK ke-j dan ykj adalah jumlah output tipe ke-k dari UPK  ke-j. Nilai efisinesi selalu kurang atau sama dengan 1. UPK yang nilai efisiensinya kurang dari 1 berarti inefisiensi sedangkan UPK yang nilai efisiensinya sama dengan 1 berarti UPK tersebut efisien.
Gambar 4.1 Frontier Efisien Model CCR

3.1.3         Variable Return to Scale (VRS)
Model ini dikembangkan oleh Banker, Charnes, dan Cooper (model BCC) pada tahun 1984 dan merupakan pengembangan dari model CCR. Model ini beranggapan bahwa perusahaan tidak atau belum beroperasi pada skala yang optimal. Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio antara penambahan input dan output tidak sama (variable return to scale). Artinya, penambahan input sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x kali, bisa lebih kecil atau lebih besar dari x kali. Rumus variable return to scale (VRS) dapat dituliskan dengan program matematika seperti berikut ini:
Maksimisasi di atas merupakan nilai efisiensi teknis (BCC), xij adalah banyaknya input tip eke-I dari UPK ke-j, dan yrj adalah jumlah output tipe ke-r dari UPK ke-j. Nilai dari efisiensi tersebut selalu kurang atau sama dengan 1. UPK yang nilai efisiensinya kurang dari 1 berarti inefisiensi sedangkan UPK yang nilainya sama dengan 1 berarti UPK tersebut efisien.
Gambar 4.2 Efisiensi Frontier  Model BCC

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah VRS (variable return to scale). Alasan pemilihan skala efisiensi model VRS ini adalah studi ini ingin mengetahui tingkat efisiensi sebenarnya (tanpa dibatasi oleh kendala apa pun).

3.2  Efisiensi Skala
Pada umumnya suatu bisnis atau unit pengambil keputusan (UPK), seperti bank, mempunyai karakteristik yang mirip satu sama lain. Namun, biasanya tiap bank bervariasi dalam ukuran dan tingkat produksinya. Hal ini mengisyaratkan bahwa ukuran bank memiliki peran penting yang menentukan efisiensi atau inefisiensi relatifnya. Model CCR mencerminkan (perkalian) efisiensi teknis dan efisiensi skala, sedangkan model BCC mencerminkan efisiensi teknis saja, sehingga efisiensi skala relatif adalah rasio dari efisiensi model CCR dan model BCC.
            Sk  =  qk,CCR/qk,BCC
Jika nilai S = 1 berarti bahwa UPK tersebut beroperasi pada ukuran efisiensi skala terbaik. Jika nilai S kurang dari satu berarti masih ada inefisiensi skala pada UPK tersebut. Sehingga, nilai (1-S) menunjukkan tingkat inefisiensi skala dari UPK tersebut. Jadi, UPK yang efisien dengan model CCR berarti juga efisien skalanya. Sedangkan, UPK yang efisien dengan model BCC tapi tidak efisien dengan model CCR berarti memiliki inefisiensi skala. Hal ini karena UPK tersebut efisien secara teknis, sehingga infisiensi yang ada adalah berasal dari skala.

3.3  Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menganalisis efisiensi sistem kesehatan dengan menggunakan teknik Data Envelopment Analysis yang merupakan aplikasi dari sistem pemrograman linear yang bertujuan untuk mendapatkan skor atau nilai efisiensi dari setiap Decision Unit making (DMU) atau Unit Pengambilan Keputusan (UPK). Di dalam penelitian ini digunakan 2 jenis input yang berbeda yaitu discretionary input dan non-discretionary input. Discretionary input adalah sumberdaya tertentu yang bisa diatur langsung besarannya dalam jangka pendek dalam kaitannya untuk mencapai output-output kesehatan tertentu. Sedangkan non-discretionary input adalah input yang tidak berada dalam jangkauan para pengambil kebijakan kesehatan tetapi lebih kepada kondisi sosial ekonomi yang bisa mempengaruhi output-output kesehatan di suatu negara.
Discretionary input yang dipakai adalah persentase total pengeluaran kesehatan (publik dan privat) terhadap GDP di negara tersebut, selanjutnya disingkat HES serta jumlah dokter per 10.000 penduduk yang kemudian disingkat PD. Non-discretionary input yang digunakan adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang tidak memiliki pendidikan sebagaimana mengacu pada indeks yang dibangun Barro dan Lee (2010), yang selanjutnya disingkat NOEDUC. Variabel NOEDUC tersebut dipilih sebagai representasi dari kondisi sosial ekonomi atau input fixed yang eksogen yang dapat mempengaruhi sistem dan output-output kesehatan, karena semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin sedikit dan lemah pula aksi-aksinya untuk mencapai kehidupanyang lebih baik, bahkan lebih jauh lagi semakin tidak berpendidikan suatu negara maka akan semakin acuh pula masyarakatnya terhadap pencapaian-pencapaian status kesehatan. Output kesehatan yang digunakan disini adalah tingkat harapan hidup (life expectancy), yang selanjutnya disingkat LE.
Gambar xx. Hubungan statistik antara NOEDUC dengan LE











Sumber : perhitungan penulis

Gambar xx tersebut paling tidak memberikan justifikasi kepada kita bahwa variabel NOEDUC bisa digunakan sebagai pendekatan untuk input non-discretionary, terlihat dari hubungannya yang negatif dan relatif kuat. Data angka harapan hidup dan proporsi penduduk 15 tahun ke atas yang tidak memiliki pendidikan bersumber dari world bank sedangkan presentase pengeluaran kesehatan terhadap GDP dan physical density berasal dari national health accounts (NHA), World Health Organization (WHO). Input sumberdaya kesehatan yang digunakan disini adalah persentase pengeluaran kesehatan terhadap GDP, bukan pengeluaran kesehatan perkapita penduduknya. Hal ini dikarenakan untuk mengimbangi struktur data angka harapan hidup yang sensitifitasnya kecil di setiap negara. Oleh karena pengeluaran perkapita besar variasinya di setiap negara, hal itu dinormalkan dengan memilih presentase pengeluaran kesehatan relatif terhadap GDP. Sehingga struktur data sama-sama tidak begitu besar variasinya di setiap negara. Data yang digunakan mencakup negara ASEAN + 5, yaitu ASEAN (Brunei, kamboja, indonesia, laos, malaysia, myanmar, filipina, singapore, thailand, dan vietnam) serta 5 negara diluar ASEAN tetapi memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan negara-negara ASEAN, lima negara tambahan itu adalah : china, korea, jepang, australia, new zaeland. Data yang digunakan merupakan data tahun 2009.


3.4.      Metode Analisis
Penulis memodelkan status output kesehatan (life expectancy) sebagai variabel dependen dari input sumberdaya kesehatan (health expendure share dan physical density) serta kondisi sosial ekonomi (dependency ratio). Metode DEA yang digunakan disini adalah DEA dengan asumsi variable return to scale, sebagai upaya merelaksasi bahwa output sudah optimal pada asumsi constant return to scale. Variable return to scale biasa disebut juga sebagai BCC model, yang mengestimasi efisiensi teknis pada skala operasi tertentu dari masing-masing DMU atau UPK. Pada penelitian ini kondisi sosial ekonomi diposisikan sebagai variabel yang fixed dan eksogen karena variabel tersebut (NOEDUC) berada di luar kekuasaan dari pengambil kebijakan dalam jangka pendek. Oleh karena itu analisis akan berfokus kepada berapa input (discretionary) yang bisa di hemat serta output yang masih bisa ditingkatkan, pada kondisi tantangan sosial ekonomi (NOEDUC) yang tetap. Pemodelan DEA pada penelitian ini menggunakan software khusus aplikasi DEA yaitu Efficiency Measurement System; software dapat diunduh di http://www.wiso.uni-dortmund.de/lsfg/or/scheel/ems/) dengan dibantu Linear programming solver DLL BPMPD yang dibangun oleh Csaba M´esz´aros.

Analisis dilakukan dengan dua sudut pandang dari model DEA itu sendiri, yaitu output-oriented dan input-oriented serta dengan menngunakan konsep radial distance sebagaimana yang dimaksud di dalam penelitian Farrel (1957) di dalam model BCC (variable return to scale) atau disebut juga Debreu-Farrell measure. DEA input oriented berfokus kepada minimisasi input pada tingkat output dan tantangan kondisi sosial ekonomi tertentu. Sedangkan DEA output oriented memfokuskan analisis kepada maksimisasi output pada tingkat input dan tantangan kondisi sosial ekonomi tertentu. Khusus pada model input oriented, penyusun frontier (DMU paling efisien atau composite) harus memiliki kondisi sosial ekonomi yang paling tidak sama menantangnya dengan negara-negara yang dievaluasi (tidak sepenuhnya efisien).

DMU atau UPK yang berada pada frontier memiliki nilai efisiensi sebesar 100% atau 1. Sedangkan DMU yang tidak efisien pada input oriented memiliki skor kurang dari 100%, dan pada output oriented memiliki skor lebih dari 100%. DMU yang tidak berada di frontier pada input-oriented model memiliki arti bahwa input masih bisa dihemat dalam mencapai tingkat output yang sama pada tantangan sosial ekonomi yang sama. DMU yang tidak berada di frontier pada output-oriented model memiliki arti bahwa output masih bisa ditingkatkan lagi tanpa meningkatkan input yang dipakai dan pada kondisi sosial ekonomi tertentu.


IV.       Hasil dan Pembahasan

Kedua orientasi DEA dibawah ini menggunakan pemograman linear dalam pemecahannya, skor efisiensi dari masing masing DMU dapat dilihat dari kedua tabel xx dan xx berikut ini. Jelas sekali bahwa perubahan orientasi model DEA tidak merubah komposisi DMU yang menjadi frontier (DMU yang peling efisien, yang memiliki nilai efisiensi = 1). Pada kedua orientasi DMU yang paling efisien sistem kesehatannya secara relatif di negara ASEAN + 5 adalah, brunei, kamboja, indonesia, jepang, republik korea, myanmar, new zaeland, filipina, dan singapore (memiliki efficiency score = 1). Hadirnya jepang, brunei, singapore, republik korea, dan new zaeland sebagai composite frontier yang merupakan negara maju dan sangat maju sistem kesehatannya memberikan justifikasi kevalidan hasil DEA yang digunakan oleh penulis. Negara-negara yang relatif sedang berkembang sistem kesehatannya dan perekonoiannya seperti kamboja, indonesia, filipina, dan myanmar memberikan pemahaman kepada kita bahwa, konsumsi sumberdaya kesehatan yang masif tidak menjamin output yang tinggi. Dengan kata lain, dengan konsumsi yang relatif menengah dan situasi sosial ekonomi yang membebani, negara-negara tersebut berhasil membawa output kesehatan ke tingkat terbaiknya relatif terhadap negara-negara lain di dalam sample. Negara yang tidak efisien sistem kesehatannya baik dilihat dari sisi input maupun output adalah australia (0.91), china (0.93), laos (0.57), malaysia (0.98), thailand (0.97), dan vietnam (0.74). Terlihat dari hasil ini bahwa, negara-negara kaya seperti australia dan malaysia bisa saja tidak efisien sistem kesehatannya (walaupun sedikit saja jaraknya dari frontier) dan negara-negara yang relatif tidak terlalu maju seperti kamboja dan myanmar memiliki ternyata memiliki efisiensi sistem kesehatan yang baik. Analisis selanjutnya akan mengambil dua negara sebagai sample-untuk analisa yang lebih mendalam-dari negara sedang berkembang yang tidak efisien secara input yaitu laos, serta berikutnya negara maju yang keluar sebagai DMU tidak efisien pada model DEA orientasi output, yaitu australia.




Tabel xx. Input Oriented DEA
DMU
Negara
Efficiency Score
Benchmark (mengacu pada DMU yang palig efisien)
Potential improvement (%)
1
    Australia
0.91
6, 12, 13
9.39
2
    Brunei Darussalam*
1.00


3
    Cambodia*
1.00


4
    China
0.93
5, 7, 12, 13
6.9
5
    Indonesia*
1.00


6
    Japan*
1.00


7
    Korea, Rep.*
1.00


8
    Lao PDR
0.57
5, 10
42.87
9
    Malaysia
0.98
3, 5, 7, 12
2.42
10
    Myanmar*
1.00


11
    New Zealand*
1.00


12
    Philippines*
1.00


13
    Singapore*
1.00


14
    Thailand
0.97
2, 5, 7
2.75
15
    Vietnam
0.74
3, 5, 7, 12
26.14
Average potential improvement in input side
15.08
* = Efficient DMU
Sumber = perhitungan penulis

Pada DEA orientasi baik input maupun output, negara yang paling tidak efisien sistem kesehatannya adalah laos. Dari sudut pandang minimisasi input (input oriented), laos masih bisa menghemat 42.87 % sumberdaya kesehatannya demi mencapai output kesehatan laos di tahun 2009 dengan kondisi populasi berumur 15 tahun ke atas yang tidak berpendidikan sejumlah level tertentu. Benchmark laos jika ingin mencapai input yang paling efisien dan berada di frontier adalah dengan meniru keberhasilan indonesia dan myanmar. Di tahun 2009, statistik menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran kesehatan negara ASEAN + 5 relatif terhadap GDP nya adalah 5.27 %, rata-rata jumlah dokter setiap 10.000 penduduk adalah 12.62, rata-rata proporsi penduduk 15 tahun ke atas yang tidak berpendidikan adalah 8.83  %, serta angka harapan hidup dengan rata-rata sebesar 73.93 tahun.

Penulis menduga bahwa faktor penting yang menyebabkan laos sangat jauh dari frontier input yang efisien adalah banyaknya penduduk 15 tahun ke atas yang tidak berpendidikan, yaitu 29.5 persen, tertinggi di ASEAN + 5. Faktor lain yang tak kalah pentingnya yaitu borosnya alokasi sumberdaya kesehatan. Sebesar 4.06 persen GDP laos didedikasikan untuk pengeluaran di sektor kesehatan dengan mengandalkan sekitar 9 dokter per 10.000 kepala untuk melayani sistem kesehatannya. Hal tersebut merupakan pemborosan, mengingat indonesia bisa mencapai hampir 3 persen angka harapan hidup yang lebih tinggi dari yang dimiliki laos sekarang hanya dengan menggunakan sekitar setengah bagian dari belanja kesehatan laos serta sepertiga dari jumlah dokter (per 10 000 kepala) yang melayani sistem kesehatan di laos sekarang ini. Hal tersebut cukup memberikan gambaran bahwa, jelas Laos menurut sisi empiris sebaiknya mengurangi 42.87 persen penggunaan input-input sistem kesehatannya untuk mencapai efisiensi input yang maksimal. Penulis menduga bahwa dengan semakin hematnya penggunaan input-input kesehatan di negara laos akan membuat pengeluaran di bidang non kesehatan produktif meningkat dan secara simultan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya yang pada gilirannya akan meningkatkan tindakan-tindakan kesehatan yang tadinya tidak bisa dilakukan karena memiliki biaya yang signifikan bagi perekonomian. Secara rata-rata, negara-negara ASEAN + 5 memiliki potensi penghematan input-input sumberdaya kesehatan sebesar 15.08 persen. Hal ini berarti seperempat dari sumberdaya kesehatan (input kesehatan) negara-negara ASEAN + 5 dapat dihemat dalam mencapai 73.93 tahun angka harapan hidup, di tengah kondisi 8.83 persen penduduknya yang  berusia 15 tahun ke atas belum mengenyam pendidikan.









Tabel xx. Output Oriented DEA
DMU
Negara
Efficiency Score
Benchmark (mengacu pada DMU yang palig efisien)
Potential improvement (%)
1
    Australia
1.02
6
1.7
2
    Brunei Darussalam*
1.00


3
    Cambodia*
1.00


4
    China
1.08
5, 7, 12, 13
8.08
5
    Indonesia*
1.00


6
    Japan*
1.00


7
    Korea, Rep.*
1.00


8
    Lao PDR
1.17
2, 5, 7
16.59
9
    Malaysia
1.03
5, 7, 12, 13
2.53
10
    Myanmar*
1.00


11
    New Zealand*
1.00


12
    Philippines*
1.00


13
    Singapore*
1.00


14
    Thailand
1.01
2, 5, 7
0.54
15
    Vietnam
1.09
6, 7, 13
9.39
Average potential improvement in output side
6.47
* = Efficient DMU

Hasil DEA orientasi output seperti terlihat pada tabel xx memperlihatkan kepada kita bahwa secara rata-rata output yang masih bisa ditingkatkan dengan input yang sekarang digunakan dan proporsi populasi 15 tahun keatas yang tidak berpendidikan tertentu adalah 6.47 persen. Sekilas terlihat bahwa output yang bisa ditingkatkan presentasenya relatif lebih kecil dari pada input yang bisa dihemat. Penulis menduga hal ini disebabkan karena nature dari data angka harapan hidup yang variasinya tidak terlalu lebar antara negara satu dengan yang lain. Sedikit perubahan pada angka harapan hidup berarti sangat besar pada kenyataannya. Hal tersebut artinya dengan kondisi konsumsi input dan variabel sosial ekonomi seperti sekarang ini, negara-negara ASEAN + 5 sebenarnya dapat mencapai angka harapan hidup sekitar 5 tahun lebih tinggi dari yang ada sekarang.

Kasus Australia yang muncul sebagai negara yang tidak efisien sistem kesehatannya dilihat dari sisi output merupakan temuan yang menarik. Pada pemodelan, keluar hasil bahwa australia dapat menjadikan jepang sebagai benchmark untuk mencapai frontier teratas (efisien). Australia memerlukan 8.51 persen belanja kesehatan total relatif terhadap GDP nya serta 29.91 dokter per 10.000 kepala untuk merawat masyarakatnya dalam menciptakan 81.54 tahun angka harapan hidup, di tengah hampir 1 persen penduduk usia 15 tahun keatas tidak mengenyam pendidikan. Di sisi lain, jepang hanya membutuhkan 8.35 persen dari GDP nya untuk sektor kesehatan serta hampir 21 dokter per 10.000 kepala untuk melayani masyarakatnya dalam rangka mencapai 82.93 tahun angka harapan hidup. Dengan kata lain, jepang membutuhkan sekitar 2 persen belanja kesehatan yang lebih sedikit dari australia, serta hampir 45 persen jumlah dokter yang lebih sedikit dari australia untuk menghasilkan angka harapan hidup yang hampir 2 persen lebih tinggi dari pada australia. Oleh karena itu, dengan karakteristik ekonomi yang relatif serupa, tergolong negara maju, maka memperhitungkan jarak terdekat dari frontier teratas, sangatlah rasional bagi negara australia untuk meniru sistem kesehatan di jepang agar mencapai efisiensi sistem kesehatan yang lebih baik.

V.         Penutup

5.1       Kesimpulan

Dari hasil penelitian menggunakan teknik DEA baik orientasi input maupun orientasi output, dengan menambahkan variabel non-discretionary input, serta penghitungan jarak dari frontier DEA dengan cara radial pada data kesehatan negara-negara ASEAN + 5 tahun 2009, di dapatkan hasil bahwa sembilan dari lima belas negara keluar sebagai DMU yang efisien. Negara-negara ASEAN + 5 yang efisien sistem kesehatannya adalah brunei, kamboja, indonesia, jepang, korea selatan, myanmar, new zaeland, filipina, dan singapore. Tidak hanya negara-negara maju seperti jepang, brunei, korsel, new zaeland, dan singapura saja yang efisien sistem kesehatannya relatif terhadap negara-negara ASEAN + 5 lainnya, tetapi juga negara-negara relatif sedang berkembang baik sistem kesehatannya maupun perekonomiannya seperti indonesia, kamboja, myanmar, dan filipina dapat juga menjadi DMU yang efisien. Hal ini dikarenakan, bukan besaran pengeluaran kesehatan yang esensial dalam mempengaruhi output-output kesehatan, melainkan keseimbangan alokasinya, efektifitas kebijakannya, serta keseimbangan antara pengeluaran kesehatan dan non kesehatan lah yang berpengaruh. Hal ini menjustifikasi bahwa tidak selamanya pengeluaran yang besar diikuti oleh peningkatan output kesehatan yang signifikan juga. Hal ini dibuktikan oleh munculnya negara-negara maju dan masif pengeluaran kesehatannya seperti australia, malaysia, dan china sebagai DMU dengan sistem kesehatan yang tidak efisien (baik dari sisi input maupun output).

Negara dengan inefisiensi output dan input yang paling besar adalah laos. Dengan penghematan potensial yang bisa dilakukan oleh laos dari sisi input, maka keseimbangan pengeluaran kesehatan dan non kesehatan meningkat yang pada gilirannya akan meningkatkan status kesehatan di negara laos kedepannya. Australia ditemukan sebagai negara sangat maju tetapi tidak efisien sistem kesehatannya, hal yang paling rasional bagi pemerintah australia dalam meningkatkan efisiensi sistem kesehatannya adalah dengan mengikuti best practice dari jepang. Secara rata-rata penghematan potensial yang bisa dilakukan dari sisi input adalah sebesar 15.08 persen dan dari sisi output sebesar 6.47 persen. Kebijakan penghematan input dan optimalisasi output kesehatan tersebut ditujukan semata-mata untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat sehingga pemborosan ekonomi dapat dihindarkan dan sumberdaya-sumberdaya yang berhasil dihemat dan dioptimalisasikan tersebut dapat bermanfaat lebih lanjut bagi sektor-sektor perekonomian produktif lainnya dan atau sektor kesehatan itu sendiri.

5.2       Saran

Kelemahan dari penelitian ini yang bisa dijadikan bahan perbaikan bagi penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang adalah :
1.      Penggunaan data yang kurang updated, sehingga pembaharuan kualitas data akan memperbaiki kualitas hasil dan pengambilan kesimpulan akan kejadian yang riil terjadi dilapangan saat ini.
2.      Penggunaan output tunggal yaitu angka harapan hidup dan relatif terbatasnya penggunaan negara-negara sebagai sample. Penambahan output dapat memperbaiki dan menambah insight bagi pengambilan kebijakan dan penambahan sample negara akan memperbaiki kualitas hasik pemodelan dengan DEA.
3.      Dapat dipertimbangkan untuk memilih variabel input non-discretionary lainnya yang mungkin dapat mempengaruhi health outcome, seperti kondisi geografis, demografi, dan kesejahteraan masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Banker, R.D., Charnes, A., and Cooper, W.W. (1984), “Some Models for Estimating Technical and Scale Inefficiency in Data Envelopment Analysis”, Management Science, 30 (9), 1078-92.
Bauer, Paul W., Berger, Allen N., Ferrier, Gary D., and Humphrey, David B. (1998), “Consistency Conditions for Regulatory Analysis of Financial Institutions: A Comparison of Frontier Efficiency Methods”, Financial Services Working Paper, 02/97, Federal Reserve.
Charnes, A., Cooper, W.W., and Rhodes, E. (1978), “Measuring the Efficiency of Decision Making Units”, European Journal of Operation Research, 2, 6, 429-44.
Coelli, T.J., Rao, D.S.P., and Battese, G.E. (1998), Introduction to Efficiency and Productivity Analysis, Kluwer Academic Publishers, Boston.
Denizer, Cevdet A., et.al. (2000), Measuring Banking Efficiency in the Pre and Post Liberalization Environment: Evidence from the Turkish Banking System, World Bank.
Farrell, M.J. (1957),  The Measurement of Productive Efficiency,” Journal of The Royal Statistical Society, 120, 253-81.
Kumbhakar, S.C. dan Lovell (2000), .The Measurement of Technical Efficiency,” Journal of The Royal Statistical Society.
Stigltz, Joseph E, (1991),”THE INVISIBLE HAND AND MODERN WELFARE ECONOMICS” working paper No. 3641 NATIONAL BUREAU OF ECONOMIC RESEARCH, 1050 Massachusetts Avenue, Cambridge
Afonso, A.and St. Aubyn, M. (2006) : Relative Efficiency of Health Provision : a DEA Approach with Non-discretionary inputs. Working  Papers 2006/33, Departement of Economics at the School of Economics and Management (ISEG), Technical University of Lisbon.

Hollingsworth, B. :Non-Paramaetric and Parametric Applications Measuring Efficinecy in Health Care. Health Care Management Science, Vol. 6(4), pp. 203-218

Strauss, J. and Thomas, D. 1996. The family and human capital development. In The Handbook of Development Economics, eds J. Behrman and T. Srinanvasan. North Holland Press, Amsterdam.

Sen, A. (1985) Commodities and Capabilities. North-Holland, Amsterdam.

Babazono A dan Hillman AL. 1994. A comparison of International Health outcomes and health care Spending. International Journal of Technology Assess healthcare, Vol 10. No.3.

Mackenbach, JP. 1991. Healthcare Expenditure and Mortality from amenable Condition in the European Community. Health Policy, vol 19.

Barro, Robert dan Jong-Wha Lee. 2010, "A New Data Set of Educational Attainment in the World, 1950-2010." NBER Working Paper No. 15902





































LAMPIRAN

Lampiran 1

Hasil output lengkapEMS untuk DEA Input Oriented

DMU No
DMU
Score
the {I}{W}
pd {I}{W}
noeduc {IN}{W}
le {O}{W}
Benchmarks
{S} the {I}
{S} pd {I}
{S} noeduc {IN}
{S} le {O}
1
    Australia
0.91
0.12
0
0.06
0.01
 6 (0.86)  12 (0.09)  13 (0.05)
0
6.68
0
0
2
    Brunei Darussalam
1.00
0.33
0
0
0.01
1




3
    Cambodia
1.00
0
0.44
1.25
0.02
2




4
    China
0.93
0.17
0.02
0.04
0.01
 5 (0.14)  7 (0.23)  12 (0.48)  13 (0.15)
0
0
0
0
5
    Indonesia
1.00
0.37
0.04
0
0.01
5




6
    Japan
1.00
0.01
0.05
90.16
0.01
1




7
    Korea, Rep.
1.00
0
0.37
0
0.01
4




8
    Lao PDR
0.57
0.24
0
0
0.02
 5 (0.88)  10 (0.12)
0
0
12.46
1.31
9
    Malaysia
0.98
0.19
0.02
0.05
0.01
 3 (0.05)  5 (0.36)  7 (0.48)  12 (0.10)
0
0
0
0
10
    Myanmar
1.00
0.5
0
0.06
0.02
1




11
    New Zealand
1.00
0
0.09
0.4
0.01
0




12
    Philippines
1.00
0.26
0
0.07
0.01
4




13
    Singapore
1.00
0.26
0
0
0.01
2




14
    Thailand
0.97
0.2
0.05
0
0.01
 2 (0.01)  5 (0.55)  7 (0.44)
0
0
0.42
0
15
    Vietnam
0.74
0.12
0.01
0.03
0.01
 3 (0.04)  5 (0.04)  7 (0.55)  12 (0.37)
0
0
0
0
Sumber : Perhitungan Penulis (bagian berwarna kuning adalah tanda untuk DMU yang efisien)


Lampiran 2
Hasil Output untuk DEA output Oriented

DMU No
DMU
Score
the {I}{W}
pd {I}{W}
noeduc {IN}{W}
le {O}{W}
Benchmarks
{S} the {I}
{S} pd {I}
{S} noeduc {IN}
{S} le {O}
1
    Australia
1.02
0.12
0
0.01
0.01
 6 (1.00)
0.16
9.28
0.8
0
2
    Brunei Darussalam
1.00
0.33
0
0
0.01
2




3
    Cambodia
1.00
0.15
0.02
0.05
0.02
0




4
    China
1.08
0.13
0.01
0.03
0.01
 5 (0.01)  7 (0.27)  12 (0.15)  13 (0.57)
0
0
0
0
5
    Indonesia
1.00
0.35
0.04
0
0.01
4




6
    Japan
1.00
0.11
0
0.83
0.01
2




7
    Korea, Rep.
1.00
0
0.23
0.11
0.01
5




8
    Lao PDR
1.17
0.16
0.04
0
0.02
 2 (0.58)  5 (0.10)  7 (0.32)
0
0
14.33
0
9
    Malaysia
1.03
0.14
0.01
0.03
0.01
 5 (0.34)  7 (0.55)  12 (0.06)  13 (0.05)
0
0
0
0
10
    Myanmar
1.00
0.27
0
0.03
0.02
0




11
    New Zealand
1.00
0
0.05
0.94
0.01
0




12
    Philippines
1.00
0.2
0
0.06
0.01
2




13
    Singapore
1.00
0.19
0
0.03
0.01
3




14
    Thailand
1.01
0.2
0.05
0
0.01
 2 (0.02)  5 (0.52)  7 (0.47)
0
0
0.77
0
15
    Vietnam
1.09
0.09
0.03
0
0.01
 6 (0.48)  7 (0.46)  13 (0.06)
0
0
1.97
0
Sumber : Perhitungan Penulis (bagian berwarna kuning adalah tanda untuk DMU yang efisien)











Tidak ada komentar:

Posting Komentar